SINOPSIS LANGIT MENDUNG DI TANAH MINANG |
SINOPSIS
Pecahnya Perang Paderi di Tanah Minang, Sumatera Barat pada
tahun 1812, menjadi puncak pertentangan dalam Masyarakat Minang sendiri disatu
sisi, dan disisi lain harus berhadapan dengan Pihak Penjajah Belanda dan Para
Sekutu Pribuminya. Gerakan keagamaan Islam dari aliran keras yang bawa oleh
Kaum Paderi yang berjubah serba-putih dibawah pimpinan TUANKU IMAM BONJOL, oleh
beberapa Penghulu/Kepala Adat di Tanah Minang dirasakan kurang tepat dan tidak
bijakasana dalam cara-cara tindakan mereka yang terlalu keras dan memeksakan
kehendaknya.
DATUK MUARO adalah salah satu Penguhulu/Kepala Adat dari
Nagari Tanah Datar yang tidak menyukai Gerakan Kaum Paderi yang telah
memecah-belah tatanan kerukunan Masyarakat Tanah Minang yang semula damai. UNI
DIA, istri DATUK MUARO adalah salah satu korban dari Perang Paderi yang
terjadi. Karena itu, kemudian DATUK MUARO melepaskan jabatannya sebagai
Penghulu/Kepala Adat di Tanah Datar dan pindah ke kampung halamannya ke Nagari
Muaro Paneh dengan memboyong kedua anak lelakinya, BABUMI JIWA(BABU) dan BAJAYA
RAYA(BAJA), serta Para Pengikut setianya.
Pindahnya keluarga DATUK MUARO ke kampung halamannya muaro
paneh membawa suasana baru bagi DATUK MUARO dan keluarga. Suasana nagari muaro
paneh yang sunyi dan damai membawa arti kedamaian tersendiri dimata DATUK MUARO.
BABU dan BAJA dibesarkan disana. BAJA seorang anak yang lelaki yang patuh
terhadap tradisi adat, patuh kepada pepatah petitih adat minang kabau serta
mempunyai sifat pemberani, patuh serta penyayang. BAJA terus tumbuh dewasa
memijakan kakinya yang kian membumi, sedangkan BABU (kakaknya BAJA) mempunyai
sifat kebalikan dari BAJA. BABU kerap kali menyepelekan kepercayaan tradisi
minang yang sudah jadi kebiasaan turun temurun, BABU memiliki sifat licik dan
mau menang sendiri. Sifat-sifat BABU itulah yang membuat seringnya terjadi
pertentangan dengan BAJA dan DATUK MUARO.
Semula niat DATUK MUARO memboyong keluarganya ke Nagari
Muaro Paneh adalah menghindar dari turut dalam kemelut perpecahan Masyarakat
Tanah Minang. Dirinya menghindar dengan cita-cita dan harapan besar membangun
kembali keluarganya sendiri serta Para Pengikut Setianya, semoga kelak menjadi
lebih baik.
Awal kehidupan baru di Nagari Muaro Paneh berjalan dengan
baik dan benar. Namun kemudian, peristiwa demi peristiwa, tragedi demi tragedi
hidup dan kehidupan pada keluarganya terjadi…
PROFIL PARA TOKOH
DATUK MUARO :
DATUK MUARO adalah sosok karismatik yang arif bijaksana.
Beliau dihormati sebagai seorang Penghulu atau Kepala Adat di Nagari Tanah
Datar.
BABUMI JIWA/BABU :
BABU adalah anak sulung DATUK MUARO. BABU memiliki perangai
licik
BAJAYA RAYA/BAJA :
BAJA adalah anak kedua DATUK MUARO, dan adik dari BABU. BAJA
memiliki sifat pembarani dan bertanggung jawab.
KAMBARLEN :
KAMBERLEN adalah adik satu-satunya dari DATUK MUARO.
KAMBARLEN sosok yang sederhana.
FATIMAH :
FATIMAH adalah istri dari KAMBARLEN. FATIMAH juga sosok
wanita yang sederhana dan murah hati.
CAKRA :
CAKRA adalah anak satu-satunya dari KAMBARLEN dan FATIMAH.
CAKRA memiliki sifat
YIEN MEI :
YIEN MEI adalah gadis keturunan Cina berusia belia yang
memiliki sifat dan perangai baik. YIEN MEI merupakan tawanan di masa pecah
Perang Paderi. YIEN MEI diserahkan oleh DATUK SAKTI kepada DATUK MUARO untuk
diasuh.
DATUK GEDE BARAYA :
DATUK GEDE BARAYA adalah sosok unik yang tinggal menyendiri.
APA TUO :
APA TUO adalah kakek dari BABU dan BAJA.
DATUK SAKTI :
DATUK SAKTI adalah sahabat baik DATUK MUARO di Tanah Datar,
sebelum DATUK MUARO pindah ke Muaro Paneh.
MAYOR EILER :
MAYOR EILER adalah komandan Belanda.
SUWITO :
SUWITO adalah seorang lelaki keturunan Jawa yang menjadi
Pesuruh di rumah DATUK MUARO.
SUARTI :
SUARTI adalah istri SUWITO yang juga keturunan Jawa.
TABIB :
01. EXT.
PEMANDANGAN DANAU SINGKARAK - PAGI
EXTABLISH
Pemandangan Danau Singkarak, Solok, Sumatra Barat 1812
CUT TO
02. EXT. JALAN
SETAPAK TEPI DANAU SINGKARAK - PAGI
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO.
Rombongan DATUK MUARO berjalan perlahan menyusuri jalan
setapak sepanjang tepian DANAU SINGKARAK. DATUK MUARO menggendong BAJAYA RAYA
di punggungnya
NARATOR :
[Setelah 4 tahun Kerajaan Pagaruyung dibumi-hanguskan oleh
Kaum Paderi, DATUK MUARO pergi meninggalkan wilayah TANAH DATAR menuju tanah
kelahiran sang bundanya di MUARO PANEH, SOLOK. Beliau pergi dengan menanggalkan
jabatan sebagai salah seorang Penghulu atau Kepala Adat di TANAH DATAR --sebuah
jabatan yang sangat terhormat, dimana dengan jabatan itu beliau dijadikan
panutan oleh segenap masyarakat nagarinya].
CUT TO
03. EXT. JALAN
SETAPAK TEPI DANAU SINGKARAK - PAGI
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO .
Kaki-kaki DATUK MUARO dan kelompoknya melewati jalan setapak
yang berlubang dan berlumpur.
Wajah DATUK MUARO yang berjanggut dan berkumis tebal
menyiratkan keteguhan serta jiwa kepemimpinan beliau yang bijak.
NARATOR :
[Jiwa DATUK MUARO menangis menyaksikan sesama Suku Minang
saling berperang, dan sesama saudara Islam saling membunuh. Dahulu TANAH DATAR
begitu indah dan damai. Tetapi kini, di setiap sudut rumah terdapat banyak
bekas bercak-bercak darah yang mongering, dan di sudut-sudut nagari berserak
puing-puing rumah yang telah hangus terbakar]
CUT TO
04. EXT. JALAN
SETAPAK DI ANTARA BUKIT-BUKIT KECIL - SIANG
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO .
BABUMI RAYA/”BABU berjalan kaki tepat di belakang DATUK
MUARO
NARATOR :
[DATUK MUARO tidak memihak pada pihak mana pun. Baik itu
pada Kaum Paderi, Kaum Adat, maupun pada Kerajaan Pagaruyung. Yang diinginkan
DATUK MUARO hanyalah agar jangan ada peperangan di Bumi Minangkabau. Gerakan
Kaum Paderi bertujuan meluruskan ajaran Islam kepada jalur yang benar.
Kebiasaan-kebiasan buruk masyarakat yang diwariskan turun-temurun, seperti sambung
ayam, mabuk-mabukan, serta memberikan persembahan-persembahan kepada penunggu
tempat-tempat yang dikeramat, diberantas habis oleh Kaum Paderi. Hingga
terjadilah peperangan saudara]
CUT TO
05. EXT. JALAN
SETAPAK NAGARI SOLOK - SIANG
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO .
Rombongan DATUK MUARO masih berjalan.
NARATOR :
[DATUK MUARO pernah berseru, agar pemahaman dan kebiasaan
pada Ajaran-Ajaran Islam yang salah seharusnya kita ajarkan secara damai dan
perlahan, terus menerus, dan jangan bosan mengajarkan pemahaman damai hingga
sampai akhir hayat. Jika ada kaum yang tidak mau mengikuti Ajaran Islam yang
benar, itu ada tanggung jawabnya sendiri pada Sang pencipta. Jika kita saling
membunuh, maka kita menjadi hamba yang lebih keji dari Kaum Islam yang
melenceng itu sendiri]
CUT TO
06. EXT. JALAN
SETAPAK NAGARI SOLOK - SIANG
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO .
CU. Wajah DATUK MUARO tampak gundah.
NARATOR :
[Tetapi tangan damai yang kecil DATUK MUARO tidak dapat
merdam itu, hingga pecahlah perang di antara sesama Suku Minang, dan akhirnya
saling membunuh sesama saudara dan seagama Islam... Maka pulanglah DATUK MUARO
ke MUARO PANEH memboyong keluarga dan pengikutnya]
CUT TO
07. EXT. MUARO
PANEH – SOLOK - SIANG
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO .
DATUK MUARO dan pengikutnya berhenti di lereng GUNUNG TALANG,
lalu mereka memandangi agak lama nagari MUARO PANEH nan elok.
NARATOR :
(Disinilah, di NAGARI MUARO PANEH, DATUK MUARO akan
membesarkan kedua putranya. Nagari yang sunyi, nagari yang dapat menghapus
kesedihan atas kehilangan isrtinya UNI DIA. UNI DIA yang tewas ditengah
hebatnya peperangan saudara di Tanah Minang).
CUT TO
08. EXT. MUARO
PANEH – DEPAN JALAN RUMAH PENDUDUK - SIANG
DATUK MUARO, BAJA, BABU, 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO,
BEBERAPA ORANG IBU IBU DAN ANAK ANAK (PIGURAN)
DATUK MUARO dan rombongan berjalan melewati depan rumah
gadang penduduk.
BEBERAPA ORANG IBU IBU DAN ANAK ANAK (PIGURAN) sedang
menumbuk padi di lasuang baiduang (lesung penumbuk padi tradisional minang
kabau yang terbuat dari batu)
Terdengar suara dinamis pukulan halu mengenai lasuang
baiduang.
SEORANG IBU (PIGURAN)
(melantunkan tembang) Nagari
bapaga undang,
Kampuang bapaga buek.
Tiok lasuang baayam gadang,
Salah tampuah bulieh diambek.
SEORANG IBU (PIGURAN) berhenti melantunkan tembang karena
melihat rombongan DATUK MUARO lewat depan rumah.
IBU IBU dan beberapa anak langsung menghampiri rombongan
DATUK MUARO, kemudian memberi salam, menyapa dan menyambutnya dengan hangat.
FADE OUT
FADE IN
09. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - HALAMAN RUMAH - SORE
DATUK MUARO, BAJAYA RAYA/”BAJA” (PUTRA BUNGSU DATUK MUARO
BERUSIA 5 TAHUN), BABUMI JIWA/”BABU” (PUTRA SULUNG DATUK MUARO BERUSIA 10
TAHUN), DAN 20 ORANG PENGIKUT DATUK MUARO, KAMBARLEN (ADIK DATUK MUARO),
FATIMAH (ISTRI KAMBARLEN)
Rombongan DATUK berhenti di halaman depan rumah gadang.
CU. DATUK MUARO memandang rumah gadang dengan haru.
KAMBARLEN dan FATIMAH keluar dari rumah gadang, lalu
menuruni tangga dan datang menyambut rombongan DATUK MUARO.
DATUK MUARO :
“Asalamuallaikum”
KAMBARLEN :
“Walaikum salam”
FATIMAH :
“Walaikum salam”
KAMBARLEN :
(mencium tangan DATUK MUARO) “Baa kaba DATUAK, Sehat ?”
(Bagaimana kabar DATUK, sehat ?)
DATUK MUARO :
“Alhamdulillah sehat”
KAMBARLEN :
(meraih BAJA dari gendongan DATUK MUARO, lalu memeluk BABU)
“Ondeh BAJA, BABU… latiah yo…” (Aduh BAJA, BABU… lelah ya…)
FATIMAH :
“Ayo, sadonya masuak lah” (Ayo, semuanya masuklah)
FADE OUT
FADE IN
10. EXT. MUARO
PANEH - AI BATIMPO - SIANG
BAJA, BABU, CAKRA (PUTRA KAMBARLEN)
TEXT : Lima tahun kemudian.
{Kamera menyorot kaki-kaki kecil BAJA yang melompat dengan
tangkas di antara bebatuan di Sungai Batimpo (Ai Batimpo).
NARATOR :
[Usia BAJA telah 10 tahun. BAJA nampak sudah begitu membumi
dengan alam desanya. Deras SUNGAI BATIMPO tidak dapat mengoyahkan kaki-kaki
kecilnya. Licinya lumut di bebatuan dapat dicengkram kuat oleh jari-jari
kakinya, yang kelak akan bertambah kuat mencengkram]
BABU berdiri ditepi sungai batimpo dan buang air kecil
BAJA melihat BABU yang sedang buang air kecil disungai.
BAJA :
(berteriak ke BABU) “hey, BABU… jaan buang ai disininan”
(hey, BABU… jangan buang air kecil disungai)
BABU :
(terlihat santai dan meneruskan buang air kecilnya) “manga
tu?” (kenapa memangnya?)
BAJA :
“iko banda larangan mah, ai larangan. Inda buliah buang ai
jo ciri disiko. Gadang beko buruang waang” (ini benda larangan, sungai
larangan. Tidak boleh buang air kecil dan buang air besar di sungai ini, nanti
burung kamu jadi membesar/bengkak)
BABU :
“bialah, aden inda takui” (biarlah, saya tidak takut)
BAJA :
“yo bana BU” (serius BU)
BABU :
“lah banya den buang ai disiko, kalau memang iko ai larangan
pasti lah buruang den sagadang buki” (sudah sering saya buang air kecil disini,
kalau memang ini sungai larangan pastilah burung saya sudah sebesar bukit)
“ah, waang inda pacayo… alu se waang tu” (ah, kamu tidak
percaya… belum aja kamu kena nanti)
BABU :
“Ah, bialah” (ah, biarin)
BAJA :
(berdiri di atas batu di tengah sungai dan berteriak kepada
BABU) “BABU…! kasiko lah… mandi di tangah” (BABU…! kesini… mandi di tengah)
BABU :
“Nda… den da bisa baranang do” (Tidak, saya tidak bisa
berenang)
BAJA :
“Ah, badan seh basa, baranang da bisa” (Ah, badan saja
besar, berenang tidak bisa)
BABU :
“Aden baranang di tapi seh yo” (Saya berenang di pinggir
saja ya)
BAJA :
“Ondeh, itiak se baranang ka tangah” (Aduh, itik saja
berenangnya ke tengah)
BABU :
“Ah biarlah” (Ah biarlah)
BAJA :
“Ayo”
BABU :
(mendorong badan CAKRA yang kecil) “CAKRA se lah, inyo
pandai baranang ka tangah. Ayo, KRA !” (CAKRA saja nih, dia pintar berenang ke
tengah. Ayo, KRA !)
CAKRA :
(merengek dan berteriak ketakutan) “Aaah…”
BABU :
(terus jahil mendorong tubuh CAKRA yang kecil) “Ayo lah”
CAKRA :
(menjerit makin ketakutan) “Aaa… BABU jaan…!” (Aaa, BABU
jangan…!)
BAJA :
“BABU, Jatuah mah... Jae bana waang” (BABU, nanti jatuh...
Jahil sekali kamu)
BABU :
(terus mendorong kecil sambil tertawa geli melihat CAKRA
semakin ketakutan) “Hahaha”
Ahirnya kaki kecil CAKRA terpeleset dan jatuh terbawa deras
arus SUNGAI BATIMPO.
BABU :
(berteriak kaget) “BAJA…! CAKRA jatuah… anyui hei…” (BAJA…!
CAKRA jatuh…hanyut…)
BAJA kaget dan langsung melompat dari atas batu dan berenang
mengejar CAKRA.
BAJA dengan susah payah melawan arus sungai mendekat ke arah
CAKRA.
CAKRA dapat diraih dan dibawa ketepian sungai oleh BAJA.
BAJA menarik kaos CAKRA hingga cakra terlihat seperti anak
ayam yang dibawa oleh majikannya.
CAKRA menangis tersedu sambil terengap-engap karena minum
air sungai.
BABU datang menghampiri dengan cemas.
BAJA :
(marah) “Jae bana waang, mati ana urang beko hah !” (Jahil
sekali kamu, mati anak orang nanti !)
BABU
“Maaf, JA, nda sangajo den” (maaf, JA, tidak sengaja aku)
BAJA menggendong tubuh CAKRA kecil yang basah kuyup dan
pergi meninggalkan Sungai.
BABU mengikuti di belakang BAJA.
NARATOR :
[BAJA begitu sayang pada CAKRA yang sudah dianggap adik
kandungnya sendiri. Setiap saat BAJA selalu memperhatikan CAKRA. BAJA kecil
hatinya penuh dengan kasih sayang yang besar, dan rasa kasih sayangnya yang
besar itu kelak akan dapat menghancurkan batu karang yang besar sekalipun]
CUT TO
11. EXT.
PADANG RUMPUT DI TEPI HUTAN GADANG - SIANG
BAJA, BABU, CAKRA
BAJA, BABU, CAKRA sedang berburu kelinci.
BABU sedang mengorek-ngorek lubang kelinci dengan sebuah
ranting.
BAJA :
“Nda kalua kalau ang cukil-cukil macam tu” (Tidak mungkin
keluar kalau kamu korek-korek seperti itu)
BABU :
“Manga inda ? Beko inyo kalua” (Mengapa tidak? Nanti juga
keluar)
BAJA :
“Dalam lubangnyo” (Dalam lubangnya)
BABU :
“Babaka seh di lubangnyo” (Kita bakar saja lubangnya)
BAJA :
“Sayang mah, mati beko” (Kasihan, mati nanti)
BABU :
“Biar lah, lama tu dagingnyo” (Biar saja, enak dagingnya)
BAJA :
“Nda ka den makan do, ka den pelihara” (Bukan buat saya makan, buat di pelihara)
BABU :
(Menunjuk hidung CAKRA yang sejak tadi memperhatikan lubang
kelinci dengan seksama) “Iko seh di pelihara mah” (Yang ini saja di pelihara)
CAKRA :
(Memukul kecil tubuh BABU) “Aaa…”
BAJA memasang perangkap tali di depan lubang dan penarik
ujung talinya ke semak-semak.
BAJA, BABU, CAKRA menunggu kelinci keluar dari lubang sambil
memegang ujung tali perangkap.
CUT TO
12. EXT.
PADANG RUMPUT DI TEPI HUTAN GADANG - SIANG
BAJA, BABU, CAKRA, KAMBARLEN
BAJA, BABU dan CAKRA masih tiarap menunggu kelinci keluar.
BABU terlihat bosan menunggu dengan ekspresi wajah sambil
berpangku tangan ke dagunya.
BAJA matanya tajam fokus memandang lubang kelinci.
CAKRA terlihat duduk sambil terkantuk-kantuk menahan
kepalanya yang terangguk-angguk hampir terjatuh.
BABU mencolek BAJA dan menunjuk ke arah CAKRA yang mengantuk
dan terlihat lucu.
BABU :
“BAJA, cigo hahaha…”
(BAJA, lihat hahaha…)
BAJA :
“Ssst, jaan bising” (ssst, jangan berisik)
Baberapa saat belum juga ada seekor kelinci yang keluar.
CU. Mata BAJA fokus memandang lingkaran jerat talinya.
BABU terlihat sangat bosan menunggu, dengan mulut menganga
memandangi wajah BAJA yang serius memandangi lubang kelinci.
CAKRA telah tergolek pulas di atas rumput.
BABU mengambil sehelai rumput dan menggelitik hidung CAKRA
yang sedang tidur.
CAKRA menepuk hidungnya karena merasa geli, tetapi tetap
masih dalam tidurnya.
BABU mengulang jahilnya dengan meletakkan rumput ke hidung
CAKRA.
CAKRA menepuk hidungnya lebih keras dan mengerang.
BABU :
(tertawa geli tertahan) “Hik…hik…”
BAJA menoleh dan tersenyum melihat kelakuan BABU.
BAJA :
“Jaan, beko bangun manangih pulo” (Jangan, nanti bangun
nangis pula lagi)
Tak lama kepala kelinci muncul dari dalam lubang.
Secepat kilat tangan BAJA menarik tali jerat dan kelinci
terperangkap.
BAJA :
(berteriak dengan senang) “Dape oy !... Kana…!” (Dapat oy
!... kena !)
BABU bangkit dan CAKRA terperanjat kaget dan langsung bangkit
mendengar ledakan teriakan BAJA.
BAJA, BABU dan CAKRA melompat kegirangan.
VO. Terdengar suara saluang dari balik Bukit Hutan Gadang.
BAJA, BABU dan CAKRA tertegun mendengar alunan saluang yang amat merdu.
VO. Suara KAMBARLEN memanggil-manggil.
“BAJA…!, BABU…!, CAKRA….! Pulang…. !!”
Tak lama muncul KAMBARLEN dari jalan menurun di bawah tebing
kecil.
CAKRA :
“Pa, BAJA dape kelinci” (Pak, BAJA dapat kelincinya)
KAMBARLEN :
“Iyo, alah cape pulang hari lah sanjo” (Iya, sudah cepat
pulang hari sudah sore)
BAJA :
(menunjuk ke arah Bukit Hutan Gadang) “Mamak KAMBAR, sia tu
nan maniu saluang ?” (Paman KAMBAR, siapa itu yang meniup salung ?)
KAMBARLEN :
“itu hantu, alah cape !” (Itu hantu, sudah cepat !)
BAJA :
“Hah, hantu ?”
BABU :
(ketakutan dan berlari kecil bergegas pulang) “Hii… hantu”
KAMBARLEN :
“Jaan sakali-kali main-main ka sinan, sinan tampe hantu”
(Jangan sekali kali main ke sana, disana tempat hantu)
FADE OUT
FADE IN
13. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - KAMAR TIDUR BAJA DAN BABU - MALAM
DATUK MUARO, BAJA, BABU
BAJA dan BABU berbaring di tikar dengan berselimut Kain
Tenun Sitiung.
DATUK MUARO duduk di sebelah BAJA dan BABU.
DATUK MUARO menyalakan rokok daun lontar dan menghisapnya
dalam-dalam.
BABU :
“Tadi patang BAJA babuang ai disungai pa” (tadi siang BAJA
buang air besar di sungai, pak)
DATUK MUARO melotot kearah BAJA
BAJA :
“ondeh! Ngece waang. inda pa, BABU nan bue” (waduh, ngarang
kamu. Bohong pa, BABU yang berbuat)
DATUK MUARO :
“inda buliah do, tu ai batimpo karame. Inda buliah mambue
rusa ana batang ai, ado panunggunyo ikan siriap putiah beko inyo marah kalau
waang buang ai disinan” (tidak boleh, itu air batimpo keramat. Tidak boleh
membuat rusak sungai, ada penunggunya yaitu ikan siriap putiah, nanti dia marah
kalau kalian buang air disana)
BABU :
“dangar lah BAJA” (dengarkan tu, BAJA)
BABU :
“ah diam lah waang!” (ah, diam kamu!)
DATUK MUARO kembali menghisap rokoknya dalam.
BABU :
“Apa maroko taruih ?” (Bapak meroko terus ?)
DATUK MUARO belum menjawab dan terus mengisap rokoknya
dalam-dalam, lalu menghembuskan asap rokok menjadi bentuk bulatan.
BAJA :
“Eh, ranca… bule”
(Eh, bagus… bulat)
DATUK MUARO :
“Dulu apa maroko, kini na mancubo maroko lai. Ternyata lama”
(Dulu bapak meroko, sekarang baru mencoba lagi. Ternyata masih enak)
BABU :
“Manga maroko lai ?” (Kenapa meroko lagi ?)
DATUK MUARO :
“Di Nagari Tanah Datar maroko haram”
BABU :
“Di siko nda haram ?” (Di sini tidak haram ?)
DATUK MUARO :
“Ah sudah lah…”
DATUK MUARO melamun dan terlihat murung.
BABU :
“BABU inge ama, Pa” (BABU kangen sama ibu, Pak)
DATUK MUARO menoleh ke arah wajah BABU dengan wajah yang
sedih.
DATUK MUARO :
“Samo, BU, tapi nda paralu risau, ama alah ditampe nan elok
jo Allah. Banyak bado’a ama pasti sanang di sinan” (Bapak juga kangen, BU, tapi
tidak perlu risau inu sudah berada ditempat yang baik disisi Allah. Kamu banyak
berdoa untuk ibu agar ibu senang disana)
BAJA :
“Seperti aa Ama tu, Pa ?” (Ibu seperti apa, Pak?)
BABU :
“Waang inda inge ama, JA ?” (Kamu tidak ingat ibu, JA ?)
BAJA menggelengkan kepala.
BABU :
“Rambui Ama panjang, kulinyo putiah, matanyo gadang” (Rambut
Ibu panjang, kulitnya putih, matanya besar)
BAJA :
“Hahaha…”
BABU :
“Manga gala ?” (Mengapa tertawa ?)
BAJA :
(mengepalkan telapak tangan) “Masa iyo gadang… Sagadang iko
? Kalau sagadang iko tu mata hantu mah” (Masa iya besar… Memangnya sebesar ini
? Kalau seberar ini namanya mata hantu)
BABU :
“Inda sagadang itu do… Ama tu gadang matanyo kalau berang”
(Tidak sebesar itulah… Ibu itu besar matanya kalau lagi marah)
BAJA :
“Baa berangnyo ?” (Bagaimana marahnya ?)
BABU :
(berdiri lalu berbicara bergaya wanita) “BABU, jaan makan
jado banya-banya !... BABU, jaan bamandi di ai gadang !... BABU, jaan
marogoh-rogoh bokong !” (BABU, jangan makan cabe banyak-banyak !... BABU, jangan mandi disungai besar !... BABU, jangan garuk-garuk pantat !...)
BAJA :
“Hahaha…”
DATUK MUARO tersenyum dan tertawa melihat tingkah BABU.
Tapi kemudian kedua mata DATUK MUARO tampak mendung
terkenang sang istri tercinta.
FADE OUT
FADE IN
14. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - HALAMAN BELAKANG - PAGI
BAJA, CAKRA, DATUK MUARO
BAJA dan CAKRA sedang memberi makan kelinci.
DATUK MUARO datang menghampiri.
DATUK MUARO :
“Itu kelinci nan kau tangkap, JA ?” (Itu kelinci yang kau
tangkap, JA ?)
BAJA :
“Iyo, ranca nda ?”
(Iya, bagus kan ?)
DATUK MUARO :
“Iyo, ranca. CAKRA, dima kau dape ?” (Iya, Bagus. CAKRA,
dimana kau dapat ?)
CAKRA :
“Di ladang”
DATUK MUARO
“Hmm”
DATUK MUARO berjalan ke arah depan rumah.
CUT TO
15. EXT.
LADANG KELAPA MILIK DATUK MUARO - PAGI
DATUK MUARO
DATUK MUARO berdiri di tengah Ladang Pohon Kelapanya.
CUT TO
16. EXT.
LADANG KELAPA MILIK DATUK MUARO - PAGI
DATUK MUARO, KAMBARLEN
KAMBARLEN sedang mengambil buah kelapa dengan seekor beruk.
Seekor beruk diberi rantai kecil yang berjuntai kebawah.
Tangan KAMBARLEN sesekali menarik rantai sebagai kemudi/aba-aba kepada beruk
untuk mengambil kelapa tua dan berpindah-pindah dari pohon kelapa satu ke pohon
yang lain.
Beruk terlihat tangkas mengambil kelapa karena si beruk
sudah sangat jinak kepada sang majikan KAMBARLEN.
DATUK MUARO datang menghampiri KAMBARLEN.
DATUK MUARO :
“Banya kalapo nan tuo, LEN ?” (Banyak dapat kelapa tuanya,
LEN ?)
KAMBARLEN :
(menoleh) “Oh, UDA DATU, lumayan lah, TU” (Oh, ABANG DATUK,
lumayanlah, TUK)
DATUK MUARO :
“KAMBARLEN”
KAMBARLEN :
“Iyo, TU”
DATUK MUARO :
“Waang masih suko paih ka Sukarami basabung ayam ?” (Kamu
masih suka bermain sambung ayam di Sukarami ?)
KAMBARLEN :
“Bataruah ayam makasud ATU ?” (Mendagu ayam maksud DATUK ?)
DATUK MUARO mengangguk.
KAMBARLEN :
“ATU malarang ambo basambung ayam ?” (DATUK melarang saya
mengadu ayam ?)
DATUK MUARO :
“Inda, ambo batanyo sajo” (Tidak, aku hanya bertanya saja)
KAMBARLEN :
“Ambo inda manyangsaro ana urang. Hewan-hewan ambo. Apo nan
salah ?” (Saya tidak merugikan orang lain. Hewan punya saya. Apa yang salah ?)
DATUK MUARO :
“Inda ado nan salah. Ambo hanya takui kini ko di siko mulai
ada kadhi nan kareh. Inda lah elok tajadi bakalai sasamo umat. Iyo judi itu
badosa, tapi antara sanak eloknyo kito mangece mangajar nan elok juo. Bilo pun
inda namuah dikecean Allah inda berang, manga urang manjadi berang ? Allah
membukakan pintu maaf kapan seh inyo namuah” (Tidak ada yang salah. Aku hanya
khawatir di sini sudah mulai masuk Khadi (ulama) aliran keras. Tidaklah baik
jika terjadi perpecahan diantara sesama umat. Memang betul judi itu dilarang
agama, sesama keluarga sudah sepantasnya kita memberi saran kebaikan dengan
cara yang lembut tanpa kekerasan. Bilamana seseorang belum bisa meninggalkan
perbuatan dosa, Allah tidak akan marah. Tapi kadang aneh, kenapa manusia menjadi marah. Karena manusia kadang berubah
dengan perlahan. Allah maha pengampun. Kapan saja kita memohon ampun, Dia akan
terima.
KAMBARLEN hanya terdiam.
DATUK MUARO :
(matanya mendung menahan tangis) “Ambo mangece ka awak, jaga
diri jo hindari bakalai. Cubo cigo sanak kito di Tanah Datar, di Agam, di Batu
sangka, lah pacah manjadi abu, ancua dikalang tana. Istana Pagaruyuang pun lah
musnah. Sasuku Urang Awak babunuah,
saagama Rosulullah batangka, jo babaka ! Cubo lie urang inda badosa mati
sia-sia… Cubo tengo UNI DA maningga tingga pusaro… Sansai badan di bao mati…”
(Aku hanya berpesan kepadamu, jaga diri dan hindari pertengkaran. Coba lihat
saudara saudar kita di Tanah Datar, di Agam, di Batu Sangkar, mereka sudah
pecah menjadi abu dan mati ditelan bumi. Bahkan Kerajaan Pagaruyung pun telah
hancur. Satu suku Orang Minang saling membunuh, satu Agama Rosulullah
berkelahi, dan saling membakar ! Coba lihat orang tidak berdosa mati sia-sia…
coba lihat UNI DA mati tinggal pusara… Sengsara jiwa ini dibawa mati…)
KAMBARLEN mendekat DATUK MUARO dan memeluknya.
DATUK MUARO :
“Kaduonyo inda ado nan salah, Karajaan Pagaruyuang ataupun
Urang Paderi. Nan salah adalah manga kaduonyo inda ado nan mangalah. Kalau sajo
salah satu ado nan mangalah, inda mungkin ado papacahan iko. Andai sajo urang
paderi Harimau Nan Salapan mangalah inda berang mancigo islam nan alun elok,
taruih lah dipaelok jo inda bakalai, pasti parang inda tajadi. Cubo sajo urang
Pagaruyuang namuah mangalah jo Paderi, pasti lah inda pacah parang. Atau bialah
babeda tapi inda babunuah. Bia Allah sajo nan manila…” (Keduanya tidak ada yang
salah, Kerajaan Pagaruyung maupun Kaum Paderi. Yang salah adalah mengapa
keduanya tidak ada yang mau mengalah. Kalau saja salah satu pihak ada yang
mengalah, tidak mungkin ada perpecahan ini. Andai saja Kaum Paderi HARIMAU NAN
SALAPAN mengalah dengan tidak marah melihat ajaran Islam yang belum benar dan
terus diperbaiki dengan cara damai, pasti perang tidak terjadi. Coba saja semua
orang Pagaruyung mau mengalah kepada Paderi, pasti tidak akan terjadi perang.
Atau biarkan saja semua berbeda dan jangan saling membunuh. Biar Allah saja
yang menilai…)
Dari balik batang pohon kelapa BAJA sejak tadi mendengarkan
percakapan DATUK MUARO dengan KAMBARLEN.
BAJA terlihat sedih.
BAJA berjalan meninggalkan ladang pohon kelapa.
DATUK MUARO memperhatiakan langkah kecil BAJA.
FADE OUT
FADE IN
17. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SORE
DATUK MUARO, BAJA
BAJA duduk bersandar di tiang rumah dengan mata
berkaca-kaca.
DATUK MUARO menghampiri
DATUK MUARO :
“Manga BAJA manangih ?”
(Kenapa BAJA menangis ?)
BAJA menggelengkan kepala dan berusaha menutupi.
DATUK MUARO :
“BAJA inda padusi, yo ?” (BAJA bukan perempuan, kan ?)
BAJA kembali menggelengkan kepala.
DATUK MUARO :
“Ana laki inda buliah managih” (Anak lelaki tidak boleh
menangis)
BAJA menghapus air matanya.
BAJA :
“Ama mati babunuah, Pa?” (Ibu mati dibunuh, Pak ?)
DATUK MUARO :
(menghibur BAJA) “Tapi kini ko Ama lah di sorga, JA” (tapi
kan sekarang Ibu sudah di sorga, JA)
BAJA :
“BAJA namuah ka surga juo, Pa, na bajumpa Ama” (BAJA ingin
ke surga juga, Pak, ingin berjumpa Ibu)
DATUK MUARO :
“Ba parangai lah nan elok, bado’a untuk Ama di sinan, pasti
beko basua ama” (Berperilakulah yang baik, berdo’a untuk ibu di sana, nanti
pasti kamu bertemu Ibu)
BAJA :
“Iyo, BAJA na bado’a untuak Ama jo jadi ana nan elok.
Pa” (Iya, BAJA akan berdoa untuk ibu dan
menjadi anak yang baik)
DATUK MUARO :
(mengelus kepala BAJA) “Ranca” (bagus)
BAJA tersenyum.
NARATOR :
[Sedikit demi sedikit tertanamlah jiwa kebaikan, kesabaran,
juga kekuatan dalam diri BAJA]
CUT TO
18. EXT. RUMAH
GADANG - HALAMAN BELAKANG - SORE
BABU
BABU diam-diam mengambil kelinci milik BAJA dan kemudian
menyembelihnya.
CUT TO
19. INT. RUMAH
KAMBARLEN - DAPUR - SORE
BABU, CAKRA, FATIMAH
FATIMAH sedang memasak air di tungku.
CAKRA duduk tidak jauh dari FATIMAH.
BABU memasuki dapur dengan kelinci yang sudah bersih di
tangannya dan siap untuk dimasak.
BABU :
“Ninik FATIM, goreng daging kelinci iko lah” (Bibi FATIM,
tolong gorengkan daging kelinci ini)
FATIMAH :
“Darima BABU dape kelinci tu ?” (Dari mana BABU dapat
kelinci itu ?)
CAKRA :
“Kelinci BAJA tu” (kelinci milik BAJA itu)
BABU :
“Bukan, iko kelinci BABU. BABU dape mangatapel” (Bukan, ini kelinci BABU. BABU dapat dari
mengetapel)
CAKRA :
“Ondeh, hebat” (Waduh, hebat)
FATIMAH :
“Iyo, sudah, beko ninik gorengkan” (Iya, sudah, nanti ninik
goreng)
CUT TO
20. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SORE
BABU, BAJA
BAJA sedang asyik membetulkan ketepelnya.
BABU memasuki ruangan dan mendekat ke arah BAJA dengan
membawa dua buah piring di tangannya.
BABU :
(menyodorkan piring berisi nasi dan goreng daging kelinci)
“Ko, makan lah, hari lah sanjo” (Nih, makanlah, hari sudah sore)
BAJA :
“Sambal aa ko ?” (Daging apa ini ?)
BABU :
“Makan se lah” (Sudah makan saja)
BAJA :
“Sia nan masa ?” (Siapa yang memasak ?)
BABU :
(sambil mengunyah daging kelinci goreng) “Ninik FATIM”
BAJA :
“Hmm, lama kacigonyo ko” (Hmm, lezat kelihatannya nih)
BABU mengangguk.
BAJA langsung memakannya dengan lahap.
Beberapa saat BAJA terus menyatap goreng daging kelinci
BABU :
(tersenyum) “Ba’a, lama inda, JA ?” (Bagaimana, lezat kan,
JA ?)
BAJA :
“Hmm, lama bana” (Hmm, lezat sekali)
BABU :
“Guriah na ?” (Gurih kan ?)
BAJA :
(dengan lahap) “Laih” (sangat)
BABU :
“BAJA”
BAJA :
“aa ?” (Apa ?)
BABU :
(setelah berkata BABU langsung berlari dan tertawa) “Tu
dagiang kalinci waang. Hahaha…” (Itu daging kelinci punya kamu. Hahaha…)
BAJA :
“BABU… ! Baruak !!...” (BABU...! Kurang ajar !!...)
BAJA matanya terbelalak dan mulutnya menganga memandangi
tulang belulang kelinci kesayangannya di atas piring di hadapannya.
BAJA :
(meledak tangisnya) “Huaaaa…huaaaaa…”
CUT TO
21. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - TANGGA DEPAN RUMAH - SORE
BAJA, DATUK MUARO
BAJA sedang menangis sambil terduduk di tangga depan Rumah
Gadang.
DATUK MURO muncul dan menghampiri BAJA.
DATUK MUARO :
“Eh, JA, mangan masih maratoi Ama awa ?” (Eh, JA, kenapa
masih meratapi ibumu ?)
BAJA :
(menangis bertambah keras) “Huaaaa…Huaaaa….”
DATUK MUARO :
“Hey, batambah kareh” (Heh, kok tambah keras menangisnya)
BAJA tetap saja menangis.
DATUK MUARO :
(lembut) “Alah baranti manangihnyo…” (Sudah berhenti
menangisnya…)
BAJA :
“Bialah BAJA manangis, Pa, iko ai mato ambo inda manyalang
ka Apa” (Biarkan BAJA menangis, Pak, ini air mata saya tidak meminjam ke Bapak)
DATUK MUARO :
“Ondeh pandainyo ngece…tapi iko talingo Apa inda talingo
awa….bising hah” (Aduh pintarnya kalau ngomong…tapi ini telinga Bapak bukan
telinga kamu…berisik ah)
BAJA :
(agak reda tangisnya) “Inda maratoi Ama, Pa, tai kelinci
ambo mati” (Bukan menangisi ibu, Pak, tapi kelinci saya mati)
DATUK MUARO :
“Manga mati, dimakan anjiang ?” (Kenapa mati, dimakan anjing
?)
BAJA :
“Dimakan ambo” (Dimakan sama saya) (BAJA kembali menangis
keras) “Huaaaa…Huaaaa…”
DATUK MUARO :
(bingung) “Ondeh mandeh, baa ko, manga manangih kalau
kelinci tu dimakan kau ?” (Waduh waduh…, bagaimana sih, mengapa menangis kalau
kelincinya dimakan oleh kamu ?)
BAJA :
“Ambo nan makan, BABU nan manggoreng. Ambo inda tau tu
kalinci ambo” (Saya yang makan, BABU yang menggoreng. Saya tidak diberi tahu
itu kelinci saya) (kembali menangis) “Huaaaa…”
DATUK MUARO :
“Ondeh mandeh… BABUUU…!!!” (DATUK MUARO marah kepada BABU,
dan berteriak)(Aduh-aduh… BABUUU…!!!)
FADE OUT
FADE IN
22. EXT.
LADANG DATUK MUARO - PADANG RUMPUT - PAGI
BAJA, BABU, CAKRA, DATUK GEDE BARAYA
BAJA dan CAKRA sedang memakamkan kelinci.
BABU duduk pada batang kayu di belakang BAJA dan CAKRA.
BABU :
“Kalinci wa lah manjadi tulang, JA, manga wa makam kan juo
?” (Kelinci kamu sudah menjadi tulang, JA, kenapa kamu makamkan juga ?)
CAKRA :
“Iyo, JA, manga tulang batanam ?” (Iya, JA, kenapa tulang
ditanam ?)
BAJA :
(kesal) “Diam se lah !” (Diam saja lah !)
BABU :
“Ambo lah minta maaf… Beko den ganti, beko denai manjare”
(Saya kan sudah minta maaf… Nanti saya ganti, saya akan menjerat)
BAJA :
“Ba’a ka manjare, manangko katak se inda pandai !” (Bagaimana
mau menjerat, menangkap kodok saja kamu tidak bisa !)
BABU :
“Denai bali di Kota” (Saya beli di kota)
BAJA :
“Dima tu Kota ?” (Memangnya kota dimana ?)
BABU :
“Jauah, di Padang” (Jauh, di Padang)
BAJA :
“Iyo, bana yo !?” (Iya, janji yah !?)
BABU :
“Iyo” (Iya)
BAJA :
(sedikit kesal) “Alun lai den ba agih namo iko kalinci, lah
waang goreang” (Belum lagi aku beri nama kelinci ini, sudah kau goreng)
BABU :
“Agih lah kini” (Beri nama saja sekarang)
BAJA :
“Aa namo nan ranca ?” (Apa kira-kira nama yang bagus ?)
CAKRA :
“Guguk sajo namonyo” (Guguk saja namanya)
BAJA :
“Ondeh, burua bana namo tu” (Aduh, jelek sekali nama itu)
BAJA :
“Baa kalau Si Amang” (Bagaimana kalau Si Amang)
BABU :
(tertawa keras)“Hahaha… tu namo baruak” (Hahaha… itu nama
monyet)
CAKRA :
(ikut tertawa keras)“Hahaha…”
BAJA :
(menepuk belakang kepala CAKRA pelan) “Gala waang” (Ketawa
kamu)
BABU :
“Si Tulang seh, ranca tu” (Si Tulang saja, bagus tuh)
BAJA :
“Iyo iyo, ranca namo Si Tulang” (Iya iya, bagus nama Si
Tulang)
VO. Suara petir
Lalu disusul dengan turun hujan yang deras tiba-tiba.
BAJA :
“Cape pulang, hujan…” (Cepat pulang, hujan…)
BABU langsung berlari pulang lebih dulu.
BAJA cepat-cepat membuka bajunya dan membungkus kepala CAKRA
dengan bajunya agar tidak terkena air hujan.
CAKRA :
(menolak dan membuang baju BAJA ke tanah) “Namuah” (Nggak
mau)
BAJA :
(mengambil bajunya dari tanah, kemudian kembali membalutkan
ke kepala CAKRA) “Pakai, beko saki waang !” (Pakai, nanti kamu sakit !)
CAKRA :
(kembali membuang baju BAJA) “Namuah, baun” (Nggak mau, bau)
BAJA :
(kembali mengambil bajunya, dan kembali meletakan di kepala
CAKRA, dan langsung menggendong paksa CAKRA) “Baun aa ko ?” (Bau apa sih ?)
BAJA berlari sambil menggendong CAKRA di punggungya.
CAKRA kembali membuang baju BAJA tanpa sepengetahuan BAJA.
CAKRA :
“Baun domba” (Bau kambing)
INSERT. DATUK GEDE BARAYA memandangi BAJA dari bawah pohon
besar di dekat ladang.
FADE OUT
FADE IN
23. EXT.
SUNGAI BATIMPO - PAGI
BAJA
BAJA menyeberangi aliran Sungai Batimpo.
BAJA memandangi Bukit Hutan Gadang dari seberang Sungai
Batimpo.
NARATOR :
[Anak itu begitu penasaran dengan suara saluang dari Bukit
Hutan Gadang. Dia tidak mengenal takut atas cerita KAMBARLEN tentang Hantu
Hutan Gadang. Langkah kakinya yang kuat terus menerjang tebing menuju Bukit
Hutan Gadang]
CUT TO
24. EXT. BUKIT
HUTAN GADANG - GUBUK DATUK GEDE BARAYA - PAGI
DATUK GEDE BARAYA, BAJA
DATUK GEDE BARAYA sedang meniup saluang.
BAJA memperhatikan DATUK GEDE BARAYA dari kejauhan.
Langkah kaki BAJA yang bergerak perlahan menginjak ranting
hingga berbunyi.
DATUK GEDE BARAYA :
(tanpa menoleh kearah BAJA) “Ke sini ah, Nak”
BAJA masih berdiri diam ditempatnya.
DATUK GEDE BARAYA :
(menoleh ke arah BAJA). “Mandakelah BAJA, jaan takui” (Mendekatlah
BAJA, jangan takut)
BAJA perlahan mendekat dan berhenti agak jauh dari DATUK
GEDE BARAYA duduk.
DATUK GEDE BARAYA :
(mempersilahkan duduk di sampingnya)“Dudu di siko” (Duduk di
sini)
BAJA lantas bergerak memberanikan diri dan duduk di samping
DATUK GEDE BARAYA.
BAJA tersenyum kecil pada DATUK GEDE BARAYA.
DATUK GEDE BARAYA :
“BAJA suka dengar saluang ?”
BAJA :
(mengangguk) “ATU ngece malayu ?” (DATUK bicara melayu ?)
DATUK GEDE BARAYA :
“Iya, BAJA bisa bicara melayu ?”
BAJA :
(mengangguk) “Bapak BAJA yang mengajarkan”
DATUK GEDE BARAYA :
“Bapak kamu itu memang orang yang baik, sabar dan berwibawa”
BAJA :
(menunjuk saluang yang masih dipegang DATUK GEDE BARAYA)
“Cubo tiu lai” (Coba tiup lagi)
DATUK GEDE BARAYA tersenyum kecil ke arah BAJA, kemudian
memainkan saluangnya kembali.
BAJA memperhatikan DATUK GEDE BARAYA memainkan saluang.
NARATOR :
[Pohon-pohon di Bukit Hutan Gadang seolah merunduk mendengar
alunan saluang DATUK GEDE BARAYA. Bunyi
riak-riak aliran Sungai Batimpo seakan bersorak-sorai karena merdunya suara
saluang. Seekor burung elang pun menjerit disela-sela hentakan nada-nada
salung. Kemudian elang itu menukik dan menyabar mangsanya di tengah rimbunya
padang rumput. Suara saluang memiliki
kekuatan magis yang hebat]
FADE OUT
FADE IN
25. EXT. BUKIT
HUTAN GADANG - GUBUK DATUK GEDE BARAYA - PAGI
DATUK GEDE BARAYA, BAJA
BAJA memegang sangkar burung yang di dalamnya terdapat
seekor burung kecil yang cantik.
BAJA :
“Ini benar untuk saya, TUK ?”
DATUK GEDE BARAYA :
“Iya, ambillah, pelihara baik-baik. Anak burung ini
ditinggal oleh induknya dan jatuh ke tanah”
BAJA :
“Ondeh, kasihan”
DATUK GEDE BARAYA :
“Dia belum bisa hidup sendiri. Nanti kalau sudah besar,
boleh kamu lepas di hutan”
BAJA :
“Baik, TUK, burung
ini akan BAJA pelihara dengan baik”
DATUK GEDE BARAYA mengantar BAJA pulang melewati jalan
setapak yang menurun ke arah Sungai Batimpo.
CUT TO
26. EXT.
LADANG MILIK DATUK MUARO - SIANG
DATUK GEDE BARAYA, BAJA, DATUK MUARO
DATUK GEDE BARAYA dan BAJA berjalan di tepian ladang.
DATUK GEDE BARAYA dan BAJA bertemu DATUK MUARO yang sedang
berada di ladang.
DATUK GEDE BARAYA dan DATUK MUARO saling berpandangan.
DATUK GEDE BARAYA memberi isyarat salam dengan cara
medekapkan kedua telapak tangannya.
DATUK MUARO membalas salam DATUK GEDE BARAYA dengan cara
yang sama.
DATUK MUARO :
“Burung sia tu BAJA ?” (Burung milik siapa itu BAJA ?)
BAJA :
“DATUK nan mangagihan ka BAJA” (DATUK yang memberi ini pada
BAJA)
DATUK MUARO tersenyum.
DATUK GEDE BARAYA :
“Saya turut berduka atas berpulangnya UNI DIA”
DATUK MUARO :
“Terima kasih DATUK”
DATUK GEDE BARAYA :
“Assalamu’alaikum…” (membalikan badan dan langsung
meninggalkan DATUK MUARO dan BAJA)
DATUK MUARO :
“Walaikum salam wa
rahmatullah…”
FADE OUT
FADE IN
27. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO – DEPAN RUMAH - MALAM
BABU, CAKRA,BAJA, DATUK MUARO
BAJA dan CAKRA sedang latihan silek (pencak silat minang
kabau)
BAJA dan CAKRA mengenakan baju silek berwarna hitam.
BAJA dan CAKRA berdiri sejajar dalam posisi kuda dan penuh
konsentrasi.
BABU hanya duduk duduk santai dibelakang tidak jauh dari
posisi BAJA dan CAKRA.
Sesekali BABU jahil melempar kerikil kecil kearah belakang
kepala CAKRA.
Kamera menyorot wajah CAKRA yang meringis, tapi tetap
konsentrasi dengan kuda-kudanya.
BABU mendekat kearah belakang BAJA kemudian mencubit dengan
cubitan kecil ke paha BAJA.
Kamera menyorot wajah BAJA yang meringis menahan perih
cubitan BABU, tapi tetap konsentrasi dengan kuda-kudanya.
BABU kemudian mencoba lagi mencubit paha BAJA dengan
membungkuk dibelakang BAJA.
Ketika baja hendak mencubit paha BAJA untuk yang kedua
kalinya tiba-tiba BAJA kentut.
Suara kentut terdengar keras dan mengarah langsung ke muka
BABU.
BABU :
“ondeh! Kantui mah” (Wah! Kentut lu)
BAJA dan CAKRA menahan tawa sambil terus berusaha konsentrsi
dengan kuda-kudanya.
BABU berjalan perlahan kedepan BAJA dan CAKRA.
BABU :
(berlaga menjadi DATUK MUARO, menepuk bahu BAJA dengan
sedikit keras) “dangakan apa! basilek tu malatiah kasabaran” (dengarkan bapak!
Silat itu melatih kesabaran)
BAJA dan CAKRA terus konsentrasi.
BABU :
(mengelus perut BAJA) “iko parui lunak bana ko” (ini perut
kok lembek sekali)
BABU dengan kepalan tangannya memukul sedikit keras kearah
perut BAJA.
BAJA :
(mengeluarkan suara menahan pukulan) “huft…”
Kamera menyorot wajah merah BAJA menahan pukulan.
Kemudian BABU mendekat kearah CAKRA.
Kamera menyorot wajah CAKRA yang tampak gelisah takut
dijahili oleh BABU.
Ketika BABU berada dihadapan CAKRA, CAKRA langsung lari
sambil tertawa.
BABU mengejar.
CAKRA :
(berteriak sambil tertawa kecil) “ampun BU… ah jaan” (ampun
BU… ah jangan)
BABU dapat menangkap CAKRA.
BABU :
“ondeh, pasilek aa ko… maso iyo lari” (ah, ini pesilat apa..
masa iya nanti sama musuh kabur)
BABU menggelitik tubuh CAKRA, dan CAKRA tertawa keras
kegelian.
DATUK MUARO muncul.
DATUK MUARO :
“jaan bagurau!” (jangan bercanda!)
CAKRA langsung berlari kembali ke posisi kuda kuda semula
disamping BAJA.
DATUK MUARO :
“BABU, manga inda latian?”
BABU :
(meringis memegang kakinya dan berpura pura) “ondeh pa, kaki
ambo saki… bana. Tadi patang ambo tajatuah diladang” (“aduh pa, kaki saya
sakit… sekali. Tadi siang saya terjatuh diladang)
DATUK MUARO :
“Alasan!”
DATUK MUARO memberikan instruksi kepada BAJA dan CAKRA
beberapa gerakan jurus silat.
BAJA dan CAKRA mengikuti gerakan pencak silat dengan
seksama.
BABU tertawa nyengir dan kembali duduk memperhatikan latihan
silat.
CUT TO
28. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO – DEPAN RUMAH - MALAM
BABU, CAKRA,BAJA, DATUK MUARO
DATUK MUARO, BAJA, CAKRA duduk bersila dan saling berhadap
hadapan.
BABU masih duduk di atas batu sambil garuk garuk kepala.
DATUK MUARO :
“silek tu inda untuak bakalai. Silek untua malatiah disiplin
diri” (“silat itu bukan untuk berkelahi. Silat adalah untuk melatih
kedislipinan”)
BAJA dan CAKRA mendengarkan dengan seksama.
DATUK MUARO :
“inda sajo malatiah rago tapi mental juo” (“bukan saja
melatih kekuatan tubuh tapi juga kekuatan mental”)
CAKRA :
“aa tu mental TU?” (“apa itu artinya mental TUK?”)
BABU :
(berteriak nyeletuk) “mental itu artinyo goreang jariang
balado” (mental itu artinya goreng jengkol bumbu)
CAKRA :
“iyo TU?” (benarkah TUK?)
DATUK MUARO :
“jaan danga keceean ana tu. Mental tu artinyo kakuatan hati
awa, kabarasihan hati” (“jangan kalian dengarkan omongan anak itu. Mental
artinya kekuatan hati kita, kebersihan hati”)
Kamera menyorot wajah CAKRA yang mengangguk angguk sok tahu
padahal belum juga CAKRA kecil itu mengerti.
DATUK MUARO :
“silek malatiah kasabaran” (silat melatih kesabaran)
CAKRA :
(memotong pembicaraan DATUK MUARO) “iyo, BABU tadi ngece
bitu” (“iya, BABU tadi bilang begitu”)
DATUK MUARO :
“jaan dangakan inyo…! Tau sababnyo…?” (“jangan dengarkan
dia…! Tahu sebabnya apa…?”)
BAJA
“sabab, inyo pancilo pa” (sebab dia tukang nyolong pa)
DATUK MUARO :
“nah.. tu bana” (nah.. itu benar)
BABU :
(tertawa keras) “hahahaha”
FADE OUT
FADE IN
29. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - DEPAN RUMAH - PAGI
BAJA, BABU, CAKRA, DATUK MUARO, APA TUO DAN PARA AJUDANNYA
BAJA sedang memberi makan burungnya.
BAJA melihat ada beberapa orang terlihat dari kejauhan
datang.
BAJA :
(memanggil DATUK MUARO) “Pa, ado nan datang !” (Bapak, ada
yang datang !)
DATUK MUARO keluar dari dalam rumah.
DATUK MUARO memandangi beberapa orang yang mendekati
rumahnya.
Setelah semakin dekat terlihatlah orang-orang yang mendekat
ke rumah DATUK MUARO.
BAJA :
(berlari mendekat ke arah orang-orang tersebut) “APA TUO,
APA TUO datang !!” (BAPAK TUA, BAPAK TUA datang !!)
BAJA dan APA TUO langsung saling berpelukan.
APA TUO mengangkat tubuh BAJA dan menciumnya.
APA TUO :
“Ondeh, cucu APA ni, bare bana badannyo” (Aduh, cucu Kakek
ini, berat sekali badannya)
Tidak lama kemudian muncul BABU dan CAKRA dari sisi rumah
dan langsung berlari ke arah APA TUO.
CAKRA dan BABU memeluk APA TUO.
FADE OUT
FADE IN
30. INT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - RUANG TENGAH - MALAM
BAJA, BABU, CAKRA, DATUK MUARO, APA TUO, KAMBARLEN, FATIMAH
BAJA, BABU, CAKRA, DATUK MUARO, APA TUO dan KAMBARLEN baru
selesai makan malam di atas tikar. FATIMAH merapikan piring-piring.
DATUK MUARO :
“Ambo inda baa, kalau BABUnyo namuh. Lah gadang kini ko
inyo” (Saya tidak keberatan, kalau BABUnya mau. Sudah besar kok sekarang dia)
APA TUO :
“Namuah na BABU ?” (mau kan BABU ?)
BABU :
(senang) “Iyo, namuah” (Iya,
mau)
BAJA :
“Iyo, beko jaan lupo
balian den kalinci di Padang yo” (Iya,
nanti jangan lupa belikan saya kelinci di Padang ya)
BABU :
“Iyo, pastilah” (Iya, pasti)
CAKRA :
(merengek ke KAMBARLEN) “Pa, ikui den ka Padang yo”
(Pak, saya ikut ke Padang ya)
KAMBARLEN :
“Iyo, beko ikui” (Iya,
nanti ikut)
DATUK MUARO :
“BABU, BAJA, alah lalo, Besuak BABU ka paih bangun pagi
pagi” (BABU, BAJA, lekas pergi tidur,
besok BABU mau pergi dan harus bangun pag- pagi)
BAJA dan BABU pergi menuju kamar.
CAKRA mengikuti dari belakang.
CUT TO
31. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - DEPAN RUMAH - MALAM
DATUK MUARO, APA TUO
APA TUO :
“Di Padang beko kan ado Volksschool skola Balando, dima
Ana-Ana Balando, Residen jo Tuan-Tuan ku Adat bisa badidiak di sinan. Maskipun
sakolanyo alun ado tapi baraja alah dimulai. Babara Ana Patinggi Nagari lah
baraja di Balai Residen. Ambo nie BABU baraja disinan. Pastilah ranca untuak
masa depannyo ka baguno untuak Nagari awa”. (Di Kota Padang nantinya akan ada
sekolah Belanda yang ternama, dimana Anak-Anak Belanda, Residen dan Anak-anak
petinggi- petinggi Adat Minang bersekolah di sana. Meskipun sekolahnya belum
ada, tapi kegiatan belajar sudah dimulai. Beberapa Anak Belanda dan Petinggi
Negeri sudah mulai belajar, yang bertempat di Balai Residen. Saya berniat
menyekolahkan BABU di sana. Pasti sangat baik untuk masa depannya, yang
nantinya diharapkan dapat menjadi orang yang berguna dan bisa membangun Negeri
kita)
DATUK MUARO :
“Laih ambo juo mangare inyo jadi ana nan baguno, ana nan
jujur” (Saya juga berharap BABU bisa menjadi anak yang berguna, anak yang
jujur)
APA TUO :
“Ambo lah tuo, ambo ingin beko ada nan mangganti ambo
mamimpin adat nagari di Padang” (Saya sudah tua, saya ingin nantinya ada yang
menggantikan saya memimpin adat negeri Padang)
FADE OUT
FADE IN
32. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - DEPAN RUMAH - PAGI
DATUK MUARO, APA TUO (DAN BEBERAPA ANAK BUAHNYA), BAJA,
BABU, KAMBARLEN, CAKRA, FATIMAH
APA TUO (DAN BEBERAPA ANAK BUAHNYA) dan BABU perlahan
meninggalkan rumah.
BAJA, DATUK MUARO, KAMBARLEN, CAKRA dan FATIMAH melepas
kepergian APA TUO dan rombongan dari depan halaman rumah. Mereka saling melambaikan
tangan.
CUT TO
33. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - HALAMAN BELAKANG - PAGI
BAJA, CAKRA
BAJA sedang sibuk mencari-cari sesuatu.
CAKRA datang mendekat.
BAJA :
“CAKRA, wa mancalia burung aden ?” (CAKRA, kamu lihat
burungku ?)
CAKRA :
“BABU nan mambao” (BABU yang membawa)
BAJA :
“Yo bana ?” (Yang benar ?)
CAKRA mengangguk.
BAJA :
“Ondeh, dasa pancilo tu ana !” (Aduh, dasar pencuri itu anak !)
FADE OUT
FADE IN
34. EXT.
LADANG DEPAN RUMAH DATUK MUARO - PAGI
EXTABLISH
EXTABLISH ladang.
TEXT. Lima Tahun
Kemudian
NARATOR :
[Musim penghujan dan musim panas terus berlalu. Muaro Paneh
masih tetap seperti itu, damai, sunyi, dan selalu diselimuti kabut yang dibawa
dari lereng Gunung Talang]
CUT TO
35. EXT.
LADANG DEPAN RUMAH DATUK MUARO - PAGI
EXTABLISH
{Kamera menyorot beberapa ekor sapi yang sedang makan rumput
di ladang}
NARATOR :
[Akan tetapi musim panas kali ini begitu panjang, hingga
menjadi tidak mudah mengurus ladang, karena sumber air mulai menipis.
Ternak-ternak banyak yang mati terserang penyakit. Sungguh, tahun-tahun yang
tidak mudah]
CUT TO
36. EXT. HUTAN
GADANG - PAGI
BAJA, CAKRA
{Kamera menyorot kaki-kaki BAJA dan CAKRA yang berjalan
mengendap-endap}
{Kamera menyorot lembing besi yang digengam ditangan BAJA}
NARATOR :
[BAJA sudah beranjak dewasa, dan terlihat jiwanya telah
semakin membumi. Otot-ototnya kuat terbentuk karena suka bekerja keras. BAJA
tetap menjaga dan menyayangi saudara mudanya, CAKRA].
BAJA memberi isyarat kepada CAKRA untuk berjalan berpencar.
BAJA menuju ke jalan setapak arah Utara, dan CAKRA menuju
Selatan.
CUT TO
37. EXT. HUTAN
GADANG - PAGI
BAJA, CAKRA
CAKRA berjalan mengendap-endap dan kedua matanya mengintai
buruan.
{Kamera menyorot seekor rusa yang sedang makan}
Sesekali rusa terlihat curiga mendengar suara ranting yang
terinjak oleh CAKRA.
CAKRA bergerak dan melemparkan lembingnya ke arah rusa.
Lemparan lembing CAKRA melesat.
{Kamera menyorot kaki-kaki BAJA yang berlari kencang,
melompat dengan tangkas melewati semak belukar dan melemparkan lembingnya
dengan sangat kuat ke arah rusa yang tengah berlari}
Lembing besi melesat lalu mengenai sasaran, tepat menancap
ke jantung rusa yang sedang berlari.
BAJA dan CAKRA mendekat ke arah rusa yang sudah terkapar.
BAJA :
(sambil memegang lembing besi yang masih tertancap pada
tubuh rusa, dengan bangga dan sedikit menyombongkan diri) “Iko nan namonyo
manomba, kalau waang manomba cicak namonyo” (Ini baru yang namanya menombak,
kalau kamu itu menombak cicak namanya) (tertawa) “Hahaha…”
CAKRA :
(tersenyum kecut) “Aden bisa labih ranca dari tu, aden inda
sungguh-sungguh se manombanyo” (Saya bisa menombak lebih baik dari kamu, saya
lagi malas saja)
BAJA :
(Tertawa) “Hahaha…, ngece gadang se waang” (Hahaha…, ngeles
saja kamu)
CUT TO
38. EXT.
SAMPING GUBUK DATUK GEDE BARAYA - DI BAWAH POHON BESAR - SIANG
DATUK GEDE BARAYA
DATUK GEDE BARAYA sedang melakuakn ritual penyembahan.
DATUK GEDE BARAYA mengucapkan mantra-mantra dan jampi-jampi.
DATUK GEDE BARAYA berdoa kepada para roh pohon besar dan
alam semesta yang mengelilinginya, yang telah memberikan seluruh mahluk hidup
di bumi ini penghidupan.
CUT TO
39. EXT.
LADANG DEPAN RUMAH GADANG DATUK MUARO - SIANG
PENGANTAR SURAT, DATUK MUARO
PENGANTAR SURAT datang mendekati rumah DATUK MUARO.
PENGANTAR SURAT :
“Assalamu’alaikum DATUK !”
DATUK MUARO muncul dari dalam rumah.
DATUK MUARO :
“walaikum’salam…”
PENGANTAR SURAT :
“Iko ado sure dari padang, TU… lah duo ari sampai di Balai
Nagari Solok, dan Ambo baru bisa manganta kini” (Ini ada surat dari Padang,
TU..., sudah dua hari sampai di Balai Nagari Solok, dan saya baru sempat
mengantarnya hari ini)
DATUK MUARO :
“Oh inda baa, makasih banya yo” (Oh tidak apa-apa, terima
kasih banyak ya)
PENGANTAR SURAT segera pamit dan pergi setelah mengucapkan
salam pada DATUK MUARO.
CUT TO
40. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SIANG
DATUK MUARO, KAMBARLEN, BAJA
DATUK MUARO sedang membaca surat.
VO. BABU
“Apa, BABU lah lulus sakola jo nilai nan ranca. Saketenyo
ambo lah banya kana urang pantiang di Nagari Minang” (Bapak, BABU sudah lulus
sekolah dengan nilai yang bagus. Sedikitnya saya sudah banyak kenal orang
penting petinggi Negeri Minang)
DISSOLVE TO : BABU bersama teman-temannya dari Anak-Anak
Pejabat Nagari, Anak-Anak Pedagang Besar Cina, dan Anak-Anak Belanda dihari
kelulusannya.
VO. BABU
“Kini ko ambo lah mulai karajo di kantua demang nagari.
Mudah-mudahan di maso mandatang ambo biso manjadi asisten demang” (Sekarang
saya sudah mulai kerja di kantor demang. Mudah mudahan di masa mendatang saya
bisa menjadi asisten demang)
DISSOLVE TO : BABU muda yang masa depan karirnya bersama
para petinggi negeri dan beberapa teman kerjanya di kantor demang sedang
melakukan aktifitas kerja.
VO. BABU
“Kalau inda ado aral malintang, bulan iko ambo ka bapulang
ka muaro paneh ka balibua karajo. Ambo rindo ka APA, BAJA, jo sadonyo di rumah.
Salam untua sadonyo. Ananda BABUMI JIWA. Wassalam…” (Kalau tidak ada halangan,
bulan ini saya akan pulang untuk liburan kerja. Saya rindu BAPAK, BAJA , dan
semuanya yang ada di rumah. Salam untuk semuanya. Tertanda ananda BUMI
JIWA.Wassalam…)
KAMBARLEM memasuki ruangan dengan membawa secangkir kopi
untuk DATUK MUARO.
BAJA menyusul memasuki ruangan.
DATUK MUARO :
“Biasonyo FATIMAH nan mambao kopi ?” (Biasanya FATIMAH yang
membawa kopi ?)
KAMBARLEN :
“Inyo saki, TU…”
(FATIMAH sakit, TUK…)
DATUK MUARO :
“Saki aa tu ?” (Sakit apa ?)
KAMBARLEN :
“Entah lah, badannyo ange bana” (Tidak tahu, badannya panas
sekali)
DATUK MUARO :
“Bao lah ka Tabib Tanah Garam” (Bawalah ke Tabib di Tanah
Garam)
KAMBARLEN :
“Iyo, sore iko, TU…” (Iya, nanti sore, TUK…)
BAJA :
“Sure dari BABU, Pa ?” (Surat dari BABU, Pak ?)
DATUK MUARO :
“Iyo”
BAJA :
“Baa kabanyo ?” (Bagaimana kabarnya ?)
DATUK MUARO
“Inyo lah luluih sakola, nilainyo ranca, jo kini lah karajo
di Kantua Demang Nagari” (Dia sudah lulus sekolah, nilainya bagus, dan sekarang
sudah kerja di Kantor Demang Negeri)
BAJA :
(tersenyum bangga) “Hebat ana buruk tu” (Hebat anak jelek
itu)
CUT TO
41. INT. KAMAR
KAMBARLEN - SIANG
CAKRA, FATIMAH
FATIMAH sedang terbaring lemah di tempat tidur.
CAKRA duduk di bangku di sebelah tempat tidur dimana FATIMAH
berbaring.
CAKRA mengompres kening FATIMAH dengan kain basah.
FATIMAH :
(batuk) “CAKRA…” (kembali batuk) “Wa lah gadang kini, jaga
diri bai-bai yo... Kalau Ama inda ado, jaga Apa jo Atu yo…” (CAKRA, uhu uhuk,
kamu sudah besar sekarang, jaga diri baik-baik ya… Kalau ibu nanti sudah tidak
ada, jaga Bapak dan Datuk ya…)
CAKRA :
“Ama ja’an ngece baitu, banya Istirhat yo” (Ibu jangan
bicara seperti itu, banyak istirahat saja)
FATIMAH :
“Kasian Atu lah tuo” (Kasihan Datuk sudah tua)
CAKRA :
“Alah ja’a bapiki ka urang, pikia diri awa surang dulu. Beko
kito pai ka tabib yo” (Sudah jangan mikir orang lain dulu, pikir kesehatan
sendiri. Nanti kita pergi ke tabib ya)
FATIMAH nampak lemah dan tertidur.
CAKRA memperhatikan wajah FATIMAH yang tampak pucat pasi.
42. EXT. GUBUK
DATUK GEDE BARAYA - DEPAN GUBUK - SIANG
DATUK GEDE BARAYA, BAJA
NARATOR :
[BAJA begitu dekat dengan DATUK GEDE BARAYA. BAJA sudah
menganggap DATUK GEDE BARAYA adalah kakeknya sendiri, juga sosok guru rohani
untuk jiwanya. Maka semakin kuat dan membumilah jiwa BAJA]
DATUK GEDE BARAYA sedang memberikan petuah kepada BAJA.
DATUK GEDE BARAYA :
“Hargailah manusia di sekelilingmu dan di semua penjuru
negeri. Jangan melihat dia hitam, jangan melihat dia putih, yang dilihat adalah
kebaikannya. Ada dua jenis manusia di bumi ini, orang baik dan orang jahat.
Yang lainnya sama. ATU adalah orang yang pergi meninggalkan mereka yang membeci
ATU, dan ATU kembali ke alam dan roh-roh yang memberi kehidupan pada ATU. Tapi
yang jelas, jadilah diri sendiri dan jagalah dua hal, yaitu kasih sayang dan
kebenaran”
BAJA mendengarkan petuah DATUK BARAYA dengan seksama.
CUT TO
43. EXT.
SAMPING GUBUK DATUK GEDE BARAYA - BAWAH POHON BESAR - SIANG
DATUK GEDE BARAYA, BAJA
DATUK GEDE BARAYA duduk bersila sambil melantunkan tembang
magis.
BAJA hanya duduk saja memperhatikan dari depan gubuk.
Beberapa daun kering tiba-tiba berjatuhan ditiup angin dan
jatuh di kepala dan tubuh DATUK GEDE BARAYA.
NARATOR :
[DATUK GEDE BARAYA dengan kekuatan magisnya mencoba mencari
tanda-tanda akan kesembuhan FATIMAH. Tetapi tanda daun-daun kering yang
berguguran memberi arti lain baginya]
DATUK GEDE BARAYA mendekati BAJA.
DATUK GEDE BARAYA :
“Nanti aku turut serta menemani kalian ke Tabib di Nagari
Solok”
BAJA :
“baiklah DATUK”
FADE OUT
FADE IN
44. EXT. JALAN
MENUJU NAGARI SOLOK - SORE
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA, DATUK GEDE BARAYA
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA dan DATUK GEDE BARAYA menaiki bendi
menuju tabib di Negeri Solok.
CUT TO
45. EXT.
PERBATASAN NAGARI SOLOK - SORE
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA, DATUK GEDE BARAYA, TIGA ORANG
LELAKI
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA dan DATUK GEDE BARAYA dengan bendi
melewati beberapa rumah penduduk setempat.
TIGA ORANG LELAKI berbaju serba putih memandang tajam ke
arah DATUK GEDE BARAYA.
TIGA ORANG LELAKI itu saling berbisik.
CUT TO
46. INT. RUMAH
TABIB - SORE
TABIB, KAMBARLEN, FATIMAH
TABIB sedang memeriksa dan mengobati FATIMAH.
TABIB menghampiri KAMBARLEN.
TABIB :
(berbisik pada KAMBARLEN) “Inyo lah lamah, bado’a seh yo…
Iko ube agih ka inyo” (Dia sudah sangat lemah sekali, berdo’a saja... Ini obat
berikan padanya)
KAMBARLEN :
“Iyo”
CUT TO
47. EXT. RUMAH
TABIB - SORE
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA, DATUK GEDE BARAYA
Bendi yang membawa KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA dan DATUK GEDE
BARAYA meningalkan rumah Tabib menuju pulang.
CUT TO
48. EXT. JALAN
DI NAGARI SOLOK - SORE
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA, DATUK GEDE BARAYA, TIGA ORANG
LELAKI
Ketika bendi sedang berjalan, tiba-tiba TIGA ORANG
LELAKI berkuda menghadang jalan bendi
(para lelaki asing yang tadi memandang DATUK GEDE BARAYA).
LELAKI 1:
“Baranti !!...” (Berhenti !!...)
KAMBARLEN langsung menarik tali kemudi bendi, dan berhenti.
KAMBARLEN :
“Manga da ?” (Ada apa ?)
LALAKI 2 :
(kasar) “Suruah DATUK GEDE paih dari siko, jo jaan parnah
inje kaki ka nagari iko laih !” (Suruh DATUK GEDE pergi dari sini, dan jangan
pernah injak lagi kakinya di nagari ini !)
KAMBARLEN :
“manga tu ?” (Mengapa ?)
LELAKI 1:
“DATUAK GEDE pamuja setan, inyo tukang tanua !!” (DATUK GEDE
penyembah setan, dia tukang santet !!)
BAJA :
“Kami ka barangke pulang, bia kami lalu” (Kami akan pulang,
biarkan kami lewat)
LELAKI 1 :
“Inda! Suruah DATUAK tu turun dari bendi, jo bia inyo
bajalan kaki” (Tidak ! Suruh DATUK itu turun dari bendi, dan biar dia berjalan)
Ekspresi wajah BAJA kesal.
CU. Tangan BAJA diam-diam meraih tombak pendek di
pinggangnya.
DATUK GEDE BARAYA :
(sambil bergerak turun perlahan dari bendi) “Bia ambo
turun…” (Biar saya turun…)
LELAKI 1 :
(mendorong pundak DATUK GEDE BARAYA hingga DATUK terhuyung)
“Cape la jalan !” (Cepat jalan !)
BAJA secepat kilat melompat tinggi dan menerjang LELAKI 1
hingga terjatuh dari pelana kudanya.
BAJA langsung mencekik dan mengancam dengan mengarahkan mata
tombak ke leher LELAKI 1.
Kuda LELAKI 1 kabur.
Kuda LELAKI 2 dan 3 tampak kaget dengan gerakan BAJA yang
tiba-tiba menerjang.
LELAKI 2 dan 3 dengan sigap dan serentak siap mencabut badik
di pinggang mereka.
BAJA :
(mengancam) “Bilo mato ana pisau tlah babuko, mako darah ka
batumpah !!” (Jika senjata telah terbuka semua dari sarungnya, maka darah yang
akan tertumpah !!)
CU. Sorot mata tajam BAJA
CU. Sorot mata tajam LELAKI 2
CU. Sorot mata tajam LELAKI 3
BAJA :
“DATUAK GEDE BARAYA inda paranah malukoi saeko cica
sakalipun… Ambo BAJAYO RAYO putra TUANKU DATUAK MUARO… Batang kayu pastinyo
pata, pantang mundu walau satapa !!” (DATUK GEDE BARAYA tidak pernah melukai
seekor cicak sekalipun… Saya BAJAYA RAYA putra TUAN KU DATUK MUARO… Batang kayu
pastilah patah, pantang mundur walau setapak !!)
LELAKI 2 dan 3 mundur beberapa langkah.
LELAKI 1 yang masih dalam cengkraman BAJA memberi isyarat
agar LELAKI 2 dan 3 memasukan kembali sejatanya ke dalam sarung.
BAJA dengan penuh siaga melepaskan cengkraman kepada LELAKI
1.
NARATOR :
[Mereka gentar ketika mendengar nama besar TUANKU DATUK
MUARO disebutkan. Nama yang telah lama menggema dan mereka kenal sebagai nama
seorang yang bijak, arif dan kokoh laksana bukit karang]
CUT TO
49. EXT. JALAN
DI NAGARI SOLOK - SORE
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA, DATUK GEDE BARAYA
KAMBARLEN, FATIMAH, BAJA dan DATUK GEDE BARAYA melanjutkan
perjalanan pulang.
FADE OUT
FADE IN
50. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - PAGI
EXTABLISH
{Kamera menyorot Matahari yang terbit di sebelah timur bumi}
EXTABLISH. Rumah gadang milik DATUK MUARO.
VO. Suara teriakan CAKRA yang menggema. “Amaaa…”
FADE OUT
FADE IN
51. EXT. BUKIT
- PEMAKAMAN TERAKHIR FATIMAH - SIANG
KAMBARLEN, CAKRA, BAJA, DATUK MUARO
KAMBARLEN, CAKRA, BAJA dan DATUK MUARO berdiri di sisi makam
FATIMAH yang baru saja dimakamkan.
Perlahan KAMBARLEN dan DATUK MUARO meninggalkan makam.
Diikuti BAJA dan CAKRA meninggalkan makam.
CUT TO
52. EXT. HUTAN
GADANG - PUNCAK BUKIT - SIANG
DATUK GEDE BARAYA
DATUK GEDE BARAYA melakukan ritual, tarian dan jampi-jampi
mendoakan FATIMAH yang telah berpulang.
FADE OUT
FADE IN
53. EXT.
PADANG RUMPUT DAN LADANG DEPAN RUMAH DATUK MUARO - PAGI
BAJA, CAKRA, KAMBARLEN, DATUK MUARO
Kamera menyorot seekor sapi yang mati dengan perutnya yang
tercabik-cabik.
CAKRA dan BAJA sedang memperhatikan sapi yang mati tersebut.
BAJA :
“Harimau karajo ko” (Harimau yang memakan)
CAKRA :
“Lah tigo ekua mah mati baiko” (Sudah tiga ekor mati seperti
ini)
KAMBARLEN dan DATUK MUARO datang.
DATUK MUARO :
“Ma’a nyo ?” (Mana ?)
CAKRA :
(menunjuk ke sapi yang mati) “Iko ha” (ini)
KAMBARLEN :
“Ondeh…” (Waduh…)
CUT TO
54. INT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - RUANG TENGAH - PAGI
BAJA, CAKRA, KAMBARLEN, DATUK MUARO
BAJA, CAKRA, KAMBARLEN dan DATUK MUARO sedang menikmati teh
talua (teh telur)
DATUK MUARO :
“Iko tanda musim kamarau panjang lah mulai datang, harimau
juo turun ka ladang mancari makan sabab di hutan suli ai jo makan juo” (Ini
tandanya musim kemarau panjang sudah mulai datang, harimau pun sudah turun ke
ladang mencari makan, karena di hutan sudah sulit air dan sulit makanan)
KAMBARLEN :
“Tapi ba’a caronyo ? Kini inda harimau se makan tarna, tapi
panyaki mambue tarna saki… Habis lah tarna awa kalau taruih baiko…” (Tapi bagaimana caranya ? Sekarang bukan
hanya harimau yang makan ternak, tapi penyakit membuat ternak mati… Habis lah
ternak kita kalau terus begini…)
BAJA hanya mendengarkan saja dan berdiri bersandar di
dinding dekat jendela.
DATUK MUARO meminum teh talua (teh telur).
CAKRA :
“Jaguang masi biso bapanen bulan iko. Mudah-mudahan bulan patang
hujan ka turun…” (Jagung masih bisa panen bulan ini. Mudah-mudahan bulan depan
masih ada turun hujan…)
KAMBARLEN :
“Inda ka mungkin do hujan ka turun, iko lah kamarau, jo
angin la kareh balalu” (Tidak akan mungkin turun hujan, sekarang sudah kemarau,
dan angin sudah bertiup kencang)
CUT TO
55. EXT.
SUNGAI BATIMPO - PAGI
BAJA
BAJA dengan tombak besi pendek di tangannya berlari
meloncati bebatuan menyebrangi Sungai Batimpo menuju Bukit Hutan Gadang.
CUT TO
56. EXT. DEPAN
RUMAH GADANG MILIK DATUK MUARO - PAGI
BABU
BABU baru tiba di rumah.
BABU berdiri di depan rumahnya sambil memandangi penuh
kerinduan.
CUT TO
57. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK SAKTI - TANAH DATAR - PAGI
DATUK SAKTI
DATUK SAKTI sedang menulis secarik surat.
NARATOR :
[DATUK SAKTI seorang penghulu dari Nagari Agam. Dia adalah
sahabat dekat DATUK MUARO. DATUK SAKTI mendengar kabar berpulangnya FATIMAH,
adik ipar DATUK MUARO, maka DATUK SAKTI mengirimkan seorang wanita bernama YEIN
MEI untuk membantu serta mengurus rumah DATUK MUARO]
CUT TO
58. EXT. JALAN
SETAPAK MENUJU RUMAH DATUK MUARO - SIANG
YEIN MEI, PARA PESURUH DATUK SAKTI
YEIN MEI dan para pesuruh DATUK SAKTI menunggang kuda.
NARATOR :
[YEIN MEI seorang keturunan Cina. Dia adalah salah seorang
tawanan Perang Paderi, ketika Kerajaan Pagaruyung banyak melakukan bisnis
dagang dengan kaum Cina di Padang dan Batavia. Ditangan DATUK SAKTI yang bijak,
YEIN MEI tidaklah dijadikan budak, melainkan akan diislamkannya]
CUT TO
59. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - SORE
YEIN MEI, PARA PESURUH DATUK SAKTI
YEIN MEI dan para pesuruh DATUK SAKTI sampai di rumah DATUK
MUARO.
NARATOR :
[Dalam sebuah surat DATUK MUARO kepada DATUK SAKTI, YEIN MEI
tidak berkenan masuk Islam, dan jika tetap tinggal di Tanah Datar tidaklah akan
aman untuk keselamatannya. Maka YEIN MEI dikirim ke DATUK MUARO agar segera
diislamkan. Jika tidak bisa, semuanya keputusan diserahkan ke DATUK MUARO nan
arif]
CUT TO
60. EXT. HUTAN
GADANG - SORE
BAJA
BAJA mencengkram kuat tombak besi pendek, sembari mengintai
di semak belukar.
BAJA bergerak perlahan menaiki batang pohon besar yang
kokoh, rimbun dan landai.
BAJA berjongkok mengintai di batang pohon siap menerjang.
DISSOLVE TO : DATUK GEDE BARAYA
“Semua alam adalah kehidupan, dan pohon-pohon memberi nafas
untuk manusia. Air berteriak menyambut nadi kita untuk tetap berdenyut. Elang
melintas di karang-karang terjal, menjerit keras menandakan musim kering akan
segera berakhir, dan kita bersiap-siap untuk memulai kehidupan selanjutnya”
VO. Suara auman harimau dari kejauhan dari dalam Hutan
Gadang.
BAJA meloncat dengan sigap dan siap memburu sang harimau si
mata dewa.
CUT TO
61. EXT. HUTAN
GADANG - SORE
BAJA
{Kamera menyorot kaki-kaki BAJA yang berlari cepat}
{Kamera menyorot kaki-kaki BAJA yang melompati akar-akar
pohon besar}
BAJA berhenti sejenak.
CU. Mata tajam BAJA memandang sesuatu denga fokus.
DISSOLVE TO : DATUK GEDE BARAYA
“Ada pula mata buas di dalam Hutan Gadang, yakni ketika
tatapan dan cakarnya bersatu memusnahkan segala yang bergerak. Hanya kekuatan
dewa yang dapat menghentikan langkahnya”
VO. Suara auman harimau kembali terdengar mendekat.
CUT TO
62. EXT. HUTAN
GADANG - SORE
BAJA
Harimau tersudut di sebuah tebing terjal.
BAJA siap menghujamkan tombaknya.
Terjadi perkelahian antara BAJA dengan harimau.
Cakar harimau menggores punggung dan paha BAJA.
Harimau tumbang di tangan BAJA dengan satu hujaman tombak di
jantungnya.
CUT TO
63. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - SORE
DATUK MUARO, YIEN MEI, KAMBARLEN, CAKRA
DATUK MUARO sedang berbincang dengan YIEN MEI.
DATUK MUARO :
“Beginilah keadaan di sini, semoga MEI kerasan”
YIEN MEI :
“Iya tuanku DATUK”
DATUK MUARO :
“Jangan panggil saya tuanku, karena saya bukan tuanmu. Kamu
manusia bebas di sini, kamu bukan budak. DATUK SAKTI hanya membebaskanmu dan
mempercayakan pada saya. Kapan pun kamu mau kembali ke keluargamu, akan saya
lakukan”.
DATUK MUARO dan YIEN MEI perlahan berjalan menuju samping
rumah.
CUT TO
64. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN SAMPING - SORE
DATUK MUARO, YIEN MEI, KAMBARLEN, CAKRA, BABU, BAJA
DATUK MUARO dan YIEN MEI muncul di halaman samping rumah.
CAKRA sedang membelah kayu bakar dengan kapak, sementara
BABU berdiri di samping CAKRA.
Sesekali BABU iseng mengganggu CAKRA (bercanda) dengan cara
melemparkan pecahan kayu ke leher CAKRA.
BABU :
(kepada CAKRA) “Hey, karajo nan elok !” (hey, kerja yang
bagus !)
CAKRA :
(membalas dengan mengambil serpihan kayu, dan melempar pada
BABU) “Inda ado karajo waang !” (Tidak ada kerjaan kamu !)
DATUK MUARO :
“CAKRA, BABU, iko YIEN MEI nan Apa carito kan” (CAKRA, BABU,
ini perkenalkan YIEN yang bapak ceritakan itu)
CAKRA :
(menjabat tangan YIEN MEI) “Oh iyo, bilo paih dari Tanah
Datar” (Oh iya, kapan berangkat dari Tanah Datar ?)
DATUK MUARO :
“Inyo inda bisa baso Minang, KRA, Malayu basonyo” (Dia tidak
bisa bahasa Minang, KRA, Melayu bahasanya)
BABU :
(meledek CAKRA sambil menepuk tangan CAKRA dari tangan YIEN
MEI) “Dia bicara saja baru bisa kemarin, hehe…”
CAKRA tersenyum dengan ledekan BABU.
BABU menjabat tangan YIEN MEI.
BABU memandang wajah cantik YIEN MEI.
BABU terpesona melihat kecantikan YIEN MEI.
Tak lama KAMBARLEN datang.
BABU :
“Nah, itu paman kami, KAMBARLEN namanya”
YIEN MEI :
“iya”
KAMBARLEN berjabat tangan dengan YIEN MEI.
VO. BAJA berteriak : “BABUUU…!!!”
BABU langsung menengok.
KAMBARLEN, DATUK MUARO, CAKRA dan YIEN MEI terkesima melihat
sosok BAJA yang penuh darah dengan harimau yang sudah tewas di pundaknya.
YIEN MEI terkesima dan terkesan melihat ketampanan dan
keperkasaan BAJA.
KAMBARLEN, DATUK MUARO, CAKRA perlahan mendekati BAJA.
CAKRA :
“Ondeh, waang buru
juo ko harimau !” (Buset, kamu buru juga itu harimau !)
BAJA menjatuhkan harimau ke tanah dari pundaknya.
KAMBARLEN :
(sambil memperhatikan harimau yang tewas) “Gilo bana waang”
(Gila benar kamu)
BABU :
(memperkenalkan BAJA pada YIEN MEI) “Ini adikku, BAJA, anak
yang paling jelek di nagari ini”
YIEN MEI tersenyum kepada BAJA, dan masih dengan pandangan
tajam penuh ketertarikan pada BAJA.
BAJA langsung menomplok tubuh BABU dan mereka saling
bergumul bercanda.
BABU :
(berteriak) “Ondeh, BAJA lapehan hah, kumuah mah… darah ko”
(Waduh, BAJA Lepaskan, kotor nih… darah)
BAJA terus jahil memeluk tubuh BABU agar tubuh BABU terkena
darah yang menempel di badannya.
FADE OUT
FADE IN
65. EXT. SAWAH
SAMPING RUMAH DATUK MUARO - PAGI
BAJA, BABU, CAKRA, KAMBARLEN, YIEN MEI
BABU dan CAKRA bersiap-siap saling lomba pacu jawi (balapan
sapi)
BAJA dan KAMBARLEN menonton dari pematang sawah.
INSERT. YIEN MEI memperhatikan lewat jendela dari ruang
tengah rumah, sambil merapihkan rumah.
Pacu Jawi (karapan sapi tradisional minang kabau)
berlangsung antara BABU melawan CAKRA dan dimenangkan oleh BABU.
BABU sepertinya rindu dengan semua hal tentang Muaro Paneh
kampung halamannya.
BABU menantang BAJA untuk bertanding.
BAJA bangkit dan siap-siap bertanding melawan BABU.
BABU pun telah siap bertanding.
CAKRA memberi isyarat untuk mulai berpacu jawi.
Ketika beberapa saat akan dimulai pertandingan, BABU
melompat dengan cepat, melorotkan celana BAJA, kemudian BABU langsung kembali
ke karapannya dan memacu jawinya.
BAJA yang sibuk menaikan celana panjangnya jadi tertinggal
memacu jawinya, dan akhirnya kalah
berpacu jawi dengan BABU.
BAJA mengambil lumpur dan melemparkan ke arah BABU, tepat
mengenai wajah BABU.
BAJA dan BABU kembali bercanda dengan riang.
INSERT. YIEN MEI tertawa melihat kelakuan BABU dan BAJA.
CUT TO
66. EXT.
PUNCAK BUKIT - MAKAM FATIMAH - SIANG
BAJA, BABU
BAJA dan BABU sedang mengunjungi makam FATIMAH.
BAJA dan BABU perlahan meninggalkan makam.
Sambil berjalan perlahan di sisi bukit BAJA dan BABU
berbincang-bincang.
BAJA :
“Bilo waang pulang ka Padang ?” (Kapan kamu pulang ke Padang
?)
BABU :
“Mungkin lusa” (Mungkin lusa)
BAJA :
“Waang kan manjadi urang pantiang di maso mandatang, BU”
(Kamu akan jadi orang penting di masa mendatang, BU)
BABU :
(berkelakar) “Pastilah, cigo seh inda ado lai do, urang nan
paling tampan iko yo hanya aka waang” (Pastilah, tidak ada lagi orang yang
paling ganteng selain abangmu ini)
BAJA :
(mendorong pundak BABU pelan) “Aden sarius ma” (Aku ngomong serius nih)
BABU :
(tertawa) “Hahaha…”
BAJA :
“Angin di ateh kancang ba gata, tapi ranca malie-lie. Urang
awa ado di bawah ai nyo nan karuah payah bajalan. Kalau waang beko lah jadi
urang hebat, jaan lah sombong, cubo lie masih banyak urang wa nan sangsaro”
(Angin di atas kencang bergetar, tapi bagus melihat pemandangan. Orang kecil
ada di bawah airnya yang keruh sulit berjalan. Kalau kamu nanti sudah jadi
orang besar, janganlah sombong, coba lihat masih banyak orang-orang kecil yang
masih sengsara)
BABU :
(bercanda) “Iyo, Apa guru” (Iya, pak guru)
BAJA :
“Cie laih” (satu lagu)
BABU :
“Aa tu ?” (apa itu ?)
BAJA :
(menomplok BABU dan kembali bercanda seperti anak kecil)
“Waang alun mangganti kalinci jo buruang den nan waang cilo” (Kamu belum
mengganti kelinci dan burungku yang kamu curi)
BABU :
(tertawa) “Hahaha…, masih inge se waang” (Hahaha…, masih
ingat saja kamu)
BAJA :
“Dasa pancilo” (Dasar pencuri)
CUT TO
67. EXT.
LADANG - BAWAH POHON RINDANG - SIANG
BABU, BAJA
BABU dan BAJA berbincang sambil duduk berdampingan di bawah
pohon.
BABU :
“Carilah padusi, e alah jaan diam se di hutan. Waang manjadi
baruak beko” (Cari lah pacar, e alah jangan main-main di hutan terus, nanti
lama-lama jadi monyet” (tertawa) “Hahaha…”
BAJA tersenyum mendengar omongan BABU.
BABU :
“Pai lah main kalua, cuku lah rambui, janggut, hah janggut
waang lah napak domba mah. Padusi ma nan namuah” (Pergi main ke luar, cukur
rambut, janggut, hah lihat janggutmu sudah seperti domba. Perempuan mana ada
yang mau)
BAJA :
(tersenyum sambil memaki kecil ke BABU) “Kanciang waang !”
(Brengsek kamu !)
BABU :
“Iyo bana mah” (Iya, benarlah)
BAJA :
“Memang waang lah punya padusi di Padang ?” (Memang kamu
sudah punya pacar di Padang ?)
BABU:
“Banyak mah” (Banyaklah)
BAJA :
“Ondeh, ngece se lah” (Wah, bohonglah)
BABU tersenyum.
FADE OUT
FADE IN
68. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - DAPUR - SORE
YIEN MEI, BAJA
YIEN MEI sedang memasak nasi.
BAJA memasuki dapur.
YIEN MEI tersenyum ke arah BAJA.
BAJA membalas dengan senyuman kecil.
BAJA berjalan dan berdiri di dekat meja di belakang YIEN
MEI.
BAJA memandangi tubuh belakang YIEN MEI dari ujung rambut
sampai kaki.
YIEN MEI menoleh ke belakang, dan BAJA segera membuang
pandangannya ke arah lain.
YIEN MEI kembali tersenyum kecil.
YIEN MEI :
“Sedang apa kamu di situ ?”
BAJA :
(grogi) “Eh, tidak, cuma ada yang mau saya tanyakan sama
MEI. Boleh, kan ?”
YIEN MEI :
“Apa ?”
BAJA :
(sambil memegangi rambutnya)“Apa benar wanita tidak suka
dengan laki-laki yang berambut panjang ?”
YEIN MEI tersenyum.
BAJA :
“Kenapa malah senyum ?”
YIEN MEI :
“Pertanyaanya aneh”
BAJA :
“Ya jawab saja, apa benar wanita tidak suka dengan laki-laki
berambut panjang ?
YIEN MEI :
“Tidak juga”
BAJA tampak mengangguk pelan.
YIEN MEI mencuri pandang.
YIEN MEI memberikan BAJA secangkir kopi.
BAJA :
“Kalau janggut panjang ?”
YIEN MEI :
“Apa ? Oh, itu… Memangnya kenapa ?”
BAJA :
“Ah tidak, cuma tanya
saja kok”
BAJA segera meraih gelas kopi.
YIEN MEI :
“Kamu sudah cukup tampan dengan rambut panjang dan janggutmu
itu”
BAJA :
(menyemburkan kopi) “Huek… cuih… asin….”
YIEN MEI :
(kikuk merasa bersalah)“Aduh… maaf… maaf…, saya salah
mencampur garam ke dalam kopinya”
BAJA :
(merasa tidak enak dan tersenyum kecut) “Oh, tidak apa-apa…
“
CUT TO
69. EXT.
PUNCAK BUKIT - SORE
BAJA. YIEN MEI
BAJA dan YIEN MEI sedang jalan-jalan menikmati udara sore.
BAJA :
“Kenapa kamu tidak kembali saja ke keluargamu?”
YIEN MEI :
“DATUK SAKTI telah menyelamatkan nyawaku. Dia orang yang
sangat baik. Aku berjanji akan mengabdi padanya, dan akan turut apa yang
dikatakannya”
BAJA :
“Lalu sampai kapan kamu akan di sini ?”
YIEN MEI :
“Entahlah, mungkin sampai aku memutuskan untuk pulang”
Suasana hening sejenak, BAJA dan YIEN MEI saling terdiam.
BAJA :
“Pasti akan terasa sepi lagi di sini, jika tidak ada suara
seorang wanita, jika kamu pergi nanti”
YIEN MEI :
(tersenyum) “Benarkah ?”
BAJA :
“Iya, tidak ada lagi seorang wanita yang membuatkan aku kopi
asin” (tertawa kecil) “Hehe…”
YIEN MEI :
(mendorong pundak BAJA pelan dan tersenyum) “Ah, kamu jahat,
masih membahas soal tadi”
BAJA :
(tersenyum lebar) “Hehe…”
CUT TO
70. EXT.
LADANG - BAWAH POHON RINDANG - SORE
BAJA, YIEN MEI, BABU
BAJA sedang mengajari YIEN MEI melempar tombak kecil ke
sebuah batang pohon.
YIEN MEI melempar terlalu pelan hingga tombak tidak menancap
pada batang pohon.
BAJA memberikan contoh dan tombak menancap dengan sangat
kokoh di batang pohon.
YIEN MEI mencabut tombak dengan susah payah.
BAJA tersenyum lalu tertawa melihat YIEN MEI yang
nyengir-nyengir mencabut tombak.
YIEN MEI bertolak pinggang sambil melotot ke arah BAJA yang
mentertawakannya.
BAJA berdiri di depan YIEN MEI memperagakan gerakan yang
benar.
YIEN MEI iseng menusukan pelan ujung tombak ke bokong BAJA.
BAJA meloncat kaget.
YIEN MEI tertawa melihat BAJA yang meloncat kaget.
CUT TO
BABU berjalan di tepi ladang.
BABU melihat sekuntum bunga putih, kemudian memetiknya.
DISSOLVE TO. Wajah cantik YIEN MEI dengan senyumnya yang
menawan.
BABU tersenyum-senyum sendiri.
BABU terus berjalan dan mencari-cari YIEN MEI.
VO. BABU
“Ondeh, ranca bana MEI… Bungo ampe jatuah ka pamandian,
cinto ka dape ba kasamapain” (Duhai, kamu sangat cantik MEI… Bunga empat jatuh
ke pemandian, cintaku dapat citaku kesampaian)
CUT TO BACK
BAJA menggenggam tangan YIEN MEI di antara gagang tombak.
BAJA:
“Begini cara pegang
yang kuat”
YIEN MEI merasakan genggaman tangan BAJA yang begitu hangat
dan penuh cinta.
YIEN MEI memandangi wajah BAJA dalam-dalam.
Perlahan YIEN MEI seolah sengaja melepaskan gagang tombak
dari tangannya, hingga yang tertinggal dan hanya telapak tangan YIEN MEI dan
BAJA yang saling bergeggaman tangan.
INSERT. BABU dari balik pepohonan yang tadinya hendak
menemui YIEN MEI, menghentikan langkahnya, karena melihat BAJA dan YIEN MEI
saling berpegangan tangan dan saling memandang.
BABU membuang bunga putih yang digenggamnya.
BABU pergi meninggalkan ladang.
FADE OUT
FADE IN
71. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - MALAM
DATUK MUARO, BABU, BAJA, YEIN MEI, KAMBARLEN, CAKRA
DATUK MUARO, BABU, BAJA, YEIN MEI, KAMBARLEN dan CAKRA sedang makan malam bersama.
BABU :
(berbicara kepada DATUK MUARO) ”Papatah adat nan salah
ialah: Daulu rabab nan batangkai, kini kopi nan babungo; Daulu adat nan
bapakai, kini rodi nan paguno. Inda ado Belanda mambue karajo rodi, memang inyo
manggaleh di siko, tapi jalan iko untuak Urang Awa juo. Kalau tu jalan urang
awa, yo awa karajo bakti mambuenyo. Papatiah bodoh !” (Pepatah adat yang salah
adalah: Dulu rebab yang bertangkai, sekarang kopi yang berbunga; Dulu adat yang
di pakai, sekarang rodi yang digunakan. Tidak ada Belanda membuat kerja rodi.
Memang betul dia berdagang di sini, tapi jalan ini kan untuk Orang Minang juga,
untuk kepentingan kita. Kalau itu jalan kita sudah sepantasnya kita kerja bakti
untuk membuatnya. Pepatah bodoh !)
DATUK MUARO :
“Jaan ngece baitu, sabana-bananyo Adat tu ranca” (Jangan
bicara seperti itu, sebenar-benarnya Adat Minang itu baik)
BABU :
“Iyo, Adat Minang tu ranca, tapi banya Urang Minang juo inda
mangarati. Mangkonyo ambo mandukuang Balando manangke urang-urang baga di Agam,
Tanah Datar, Bukit Tinggi, Padang Panjang. Inyo marampo juo mambue onar di
sinan. Jiko nanti ambo manjadi Tuanku Larah ambo ka basaru ka saluruah panghulu
jo pamuko adat tuak baparang malawan urang awa nan inda tau hukum” (Iya, Adat
Minang memang bagus, tapi banyak orang minang yang tidak mengerti. Makanya saya
sangat mendukung belanda menangkap orang orang di Agam, Tanah Datar, Bukit
Tinggi, Padang Panjang. Mereka merampok dan membuat onar di sana. Jika nanti
saya menjadi tuanku lareh, saya akan serukan keseluruh penghulu dan pemuka adat
nagari untuk berperang melawan Orang Minang yang tidak tahu hukum)
DATUK MUARO :
“BABU ! Waang sadar inda, urang nan ka waang parangi tu
sanak waang surang. Dima urang hidui pasti ado urang nan jae, tapi parang inda
lah malarai masalah. Masih ado cara lain salain batangka. Waang baraja inda
untua mambua ricuah, waang baraja untuak bisa manjadi urang nan baguno. Kalau
waang mancarai barai nagari, waang manjadi ana nan inda baguno dimato awa !!”
(BABU ! Kamu sadar tidak, orang-orang yang akan kamu perangi itu adalah
saudara-saudara kamu sendiri. Dimana pun kita hidup pasti ada orang jahat, tapi
perang tidak menyelesaikan masalah. Masih ada cara lain selain bertengkar. Kamu
belajar bukan untuk membuat perpecahan, kamu belajar untuk bisa menjadi orang
yang berguna. Kalau kamu mencerai-berai nagari, kamu akan menjadi orang yang
tidak berguna dimata saya !!)
BABU :
“Tapi maraih kaelokan nagari harus hukum ba taga, Pa” (Tapi
meraih kedamaian nagari harus dengan hukum yang tegak, Pak)
DATUK MUARO :
(marah membentak sambil membanting piring yang berada di
tangannya) “Persetan jo hukum, waang mamacah balah Urang Awa !!!” (Persetan
dengan hokum !!... Kamu memecah-belah Orang Minang !!!)
Semua terkejut mendengar DATUK MUARO membentak dan
membanting piring.
DATUK MUARO terbatuk
dan terhunyung meninggalkan ruang tengah.
KAMBARLEN dan BAJA segera memapah DATUK MUARO menuju ke
kamarnya.
BABU terdiam dan nampak menyesal.
FADE OUT
FADE IN
72. EXT. DEPAN
RUMAH GADANG MILIK DATUK MUARO - PAGI
BAJA, BABU, CAKRA
CAKRA dan BAJA melepas kepulangan BAJA ke Padang.
NARATOR :
[DATUK MUARO tampaknya kecewa dengan ucapan BABU semalam,
hingga pagi saat BABU pulang, DATUK MUARO tidak melepas kepulangan BABU]
FADE OUT
FADE IN
73. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SIANG
DATUK MUARO
DATUK MUARO berdiri di depan jendela, memandang jauh ke
depan hamparan ladangnya.
Sesekali DATUK MUARO terbatuk.
NARATOR :
[Dalam hati DATUK MUARO berkata: “Aku serahkan semuanya
kepadaMu ya Allah, jika suatu saat hal yang aku takuti akan menimpa diriku dan
keluargaku. Lindungilah mereka, kuatkanlah meraka. Jika ada diantara mereka
melakukan kesalahan, ampuni mereka ya Allah. Kebenaranlah yang patut
dimenangkan”]
CUT TO
74. EXT.
TANGGA DEPAN RUMAH GADANG - SIANG
DATUK MUARO, BAJA, YIEN MEI, CAKRA
DATUK MUARO perlahan menuruni anak tangga dengan
terhuyung-huyung.
DATUK MUARO pun terjatuh dari tangga.
YEIN MEI keluar dari rumah karena mendengar suara sesuatu
jatuh.
YEIN MEI berteriak memberitahu kalau DATUK MUARO terjatuh.
BAJA dan CAKRA muncul dari samping rumah dengan berlari.
BAJA dan CAKRA memapah tubuh DATUK MUARO yang pingsan.
BAJA dan CAKRA membawa masuk DATUK MUARO.
FADE OUT
FADE IN
75. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - KAMAR DATUK MUARO - SORE
DATUK MUARO, BAJA, KAMBARLEN, YEIN MEI, TABIB
TABIB telah selesai memeriksa dan mengobati DATUK MUARO.
DATUK MUARO masih terbaring di tempat tidur.
YEIN WEI membawakan air hangat di mangkuk untuk mengkompres
DATUK MUARO.
KAMBARLEN berdiri di samping tempat tidur memperhatikan
DATUK MUARO.
TABIB berjalan perlahan keluar kamar dan BAJA mengikuti di
belakangnya.
CUT TO
76. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SORE
BAJA, KAMBARLEN, TABIB
TABIB :
“Jaga Apa awa yo, banya istirahat, jo jaan banya bapiki”
(Jaga Bapak kamu baik-baik, banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran)
BAJA :
“Iyo” (Iya)
TABIB :
“Baruntuang masiah batolong, kalau inda pambuluah darahnyo
bisa pacah” (Beruntung masih tertolong, kalau tidak pembuluh darahnya bisa
pecah)
TABIB mengambil tasnya dari atas meja kemudian berjalan
menuju keluar ruang tidur.
TABIB :
“Ambo ka pamit pulang yo” (Saya pamit pulang ya)
BAJA :
“Iyo, Pa, terima kasiah banya” (Iya, Pak, terima kasih
banyak)
FADE OUT
FADE IN
77. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SORE
DATUK MUARO, YIEN MEI, BAJA
DATUK MUARO duduk di kursi.
YIEN MEI membasuh telapak kaki DATUK MUARO dengan kain
basah.
DATUK MUARO memandangi wajah YIEN MEI.
CU. Mata DATUK MUARO berkaca-kaca karena haru.
INSERT. Dari ruang tengah BAJA melihat YIEN MEI sedang
membersihkan kaki DATUK MUARO.
DATUK MUARO :
“Kamu baik sekali, MEI… Bagaimana ATU membalas kebaikan
kamu”
YIEN MEI :
“Sudahlah ATU, yang penting sekarang ATU banyak istirahat
saja”
DATUK MUARO :
(menangis) “Lihatlah, kulit kita berbeda, Tuhan kita pun tak
sama, tapi kamu begitu tulus mengurus ATU, membantu keluarga ATU”
YIEN MEI :
(menghapus air mata DATUK MUARO dengan selendang) “ATU
sekarang jangan banyak pikiran…”
DATUK MUARO mengangguk perlahan.
FADE OUT
FADE IN
78. EXT.
PADANG RUMPUT DI BUKIT - SORE
BAJA, YIEN MEI
Pemandangan padang rumput yang luas membentang.
Rerumputan di padang rumput tampak menguning di musim
kemarau, sangat kontras dengan sinar matahari sore yang menguning laksana
hamparan emas berkilau.
BAJA saling bencengkrama dan terlihat sudah sangat dekat
dengan YIEN MEI.
BAJA menggendong YIEN MEI di pundaknya, melompat-lompat
seperti layaknya anak-anak kecil yang bermain dengan senangnya.
CUT TO
79. EXT.
PADANG RUMPUT DI BUKIT - SELOKAN KECIL - SORE
BAJA, YIEN MEI
BAJA dan YIEN MEI saling mencipratkan air satu sama lain.
CUT TO
80. EXT.
PADANG RUMPUT DI BUKIT - SORE
BAJA, YIEN MEI
BAJA dan YIEN MEI saling berbaring terlentang di atas
hamparan rumput menghadap ke birunya langit.
Beberapa saat mereka hanya memandangi langit tanpa
berkata-kata.
BAJA membalikan badannya dan mendekap tubuh YIEN MEI.
BAJA membelai beberapa helai rambut YIEN MEI yang terjatuh
di keningnya.
BAJA dan YIEN MEI saling berpandangan.
CUT TO
81. EXT. DI TEPI BUKIT - SORE
BAJA, YIEN MEI
BAJA dan YIEN MEI sedang menanam pohon suren kecil
BAJA :
(menanam pohon suren yang masih kecil) “tahu kah kamu MEI,
dalam adat tradisi minang jika seseorang lelaki yang sudah dewasa dan dia sudah
menemukan seorang perempuan pilihan hatinya, lelaki tersebut diharuskan batanam
kayu kareh”
YIEN MEI :
“artinya apa?”
BAJA :
“menanam pohon keras. Nanti suatu hari pohon ini akan tumbuh
besar dan bisa digunakan untuk membangun rumah anak anak keturunan lelaki
tersebut”
YIEN MEI tersenyum.
BAJA :
“sungguh adat istiadat yang sungguh bijak, jika adat ini
bisa tetap terjaga sudah pasti hutan hutan ini akan terus lestari sepanjang
masa. Dan anak anak keturunan selanjutnya masih tetap bisa menikmati keindahan
alam”
YIEN MEI :
“lalu kenapa kamu menanamnya sekarang, apakah kamu sudah
menemukan perempuan itu?”
BAJA :
“sudah”
YIEN MEI :
“siapa?”
BAJA :
“seorang perempuan cantik anak seorang bangsawan dari
padang”
Wajah YIEN MEI memerah padam.
YIEN MEI
(langsung bangkit dan beranjak pergi peninggalkan BAJA,
marah, cemburu. Sambil menendang pohon kecil yang baru saja ditanam oleh BAJA)
“aku pergi dulu, belum membersihkan rumah!”
BAJA langsung menyergap YIEN MEI dari belakang, hingga BAJA
dan YIEN MEI jatuh berguling ketanah.
YIEN MEI :
(meronta, marah) “BAJA! Lepaskan aku”
BAJA :
(tersenyum ke YIEN MEI) “rumah baru saja kamu bersihkan, mau
kamu bersihkan lagi?”
YIEN MEI :
“biarkan terserah aku, BAJA, lepaskan!”
BAJA :
“MEI… aku hanya bercanda”
YIEN MEI :
(masih marah dan meronta) “aku tidak peduli! Lepaskan!”
BAJA :
“perempuan itu adalah kamu, tidak ada wanita anak bangsawan
dari padang. Aku Cuma mengarang”
YIEN MEI terdiam sejenak dan memandang wajah BAJA
YIEN MEI :
(mata yang berkaca kaca) “benarkah?”
BAJA mengangguk
YIEN MEI :
“jangan bercanda seperti itu lagi, aku tidak suka”
BAJA kembali mengangguk.
YIEN MEI :
(menampar pipi BAJA pelan) “jawab!”
BAJA :
(mengaduh) “aduh, iya”
YIEN MEI
“satu lagi”
BAJA :
“satu lagi apa?”
YIEN MEI :
“kamu memang bagus dengan rambut panjang mu, tapi tolong
kumis dan janggut mu di potong. Jelek kamu kaya kambing hehehe”
BAJA tertawa dan menggelitik YIEN MEI
YIEN MEI menjerit tertawa kegelian
CUT TO
82. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - DEPAN RUMAH - PAGI
CAKRA, BAJA, DATUK NAN TANJUANG, PARA PENGIKUT DATUK NAN
TANJUANG
TEXT : Muaro paneh, Sumatera Barat, 22 April 1835.
CAKRA dan BAJA sedang menuangkan biji jagung dengan
sukatan/sukek (sejenis ukuran takaran 1 liter tradisional minang yang terbuat
dari bambu betung) kedalam karung.
VO. Suara deru kaki-kaki kuda dari kejauhan.
BAJA memandang jauh ke depan dan tampak beberapa kuda dengan
para penunggangnya.
DATUK NAN TANJUNG berserta beberapa pengikutnya mendekati
rumah DATUK MUARO.
CUT TO
83. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO- RUANG DEPAN - SIANG
DATUK MUARO, DATUK NAN TANJUNG, BAJA, CAKRA, KAMBARLEN
DATUK NAN TANJUNG :
“Ambo mangaja ATU MUARO pulang ka Tanah Datar. Pangaruh ATU
gadang di sinan, jadi ambo maminta ATU mahimbau Urang Awa di Tanah Datar untuak
basatu padu malawan Balando jo pangikuinyo nan hianat ka Urang Awa” (Saya
mengajak ATU MUARO pulang ke Tanah Datar. Pengaruh ATU sangat besar di sana,
jadi saya meminta ATU untuk menghimbau Orang Minang di Tanah Datar untuk
bersatu padu melawan Belanda bersama para pengikutnya yang berhianat pada
negerinya sendiri)
DATUK MUARO :
“Rumah ambo di siko, ambo lah gae, ambo lah saki-saki.
Bialah ambo disiko jo kadamaian nan ambo lah dape” (Rumah saya di sini, saya
sudah tua, dan saya sudah sakit-sakitan. Biarlah saya di sini dengan kedamaian
yang sudah saya dapatkan)
DATUK NAN TANJUNG :
“Kini ko Balando lah sampai nagari Masang ba bantu para
panghianat urang awa dari Batipuah jo tanah datar. Alun lai urang-urang Bugis,
Madura nan mambantu Balando ka manyarang benteng tuanku IMAM BONJOL. Jadi awak
lai butuah bantuan ATU jo pangikui satio ATU di Tanah Datar untuak basatu
menghalau Balando di Sipisang, agar inda bisa masua ka Alahan Panjang tampe
TUANKU IMAN BONJOL” (Sekarang Belanda sudah sampai nagari Masang dibantu oleh
para penghianat dari Batipuh dan Tanah Datar. Belum lagi orang-orang Bugis,
Ambon, Madura, yang membantu Belanda untuk menyerang benteng tuanku IMAM
BONJOL. Jadi saya benar-benar butuh bantuan ATU beserta pengikut setia ATU di
Tanah Datar untuk bersatu menghalau Belanda di Sipisang, agar tidak bisa masuk ke
Alahan Panjang tempat TUANKU IMAM BONJOL)
DATUK MUARO :
(bangkit dari kursi dan perlahan meninggalkan ruangan
menolak permintaan DATUK NAN TANJUNG) “Maafkan Ambo” (maaf kan saya)
CAKRA :
(bangkit dari tempat duduk) “Ambo ikui” (Saya ikut)
Mata BAJA terkejut mendengar ucapan CAKRA.
KAMBARLEN pun terkejut dengan ucapan CAKRA.
FADE OUT
FADE IN
84. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - MALAM
DATUK MUARO, BAJA, YIEN MEI
BAJA :
“Ambo mohon pamit ka pai ka Sipisang, Pa” (Saya mohon pamit
untuk pergi ke Sipisang, Pak)
YIEN MEI yang sedang duduk di kursi tampak terkejut
mendengar ucapan BAJA.
DATUK MURO pun terkejut.
DATUK MUARO :
“Awa inda ba hianat ka kabanaran juo BAJA” (Kamu hendak
berhianat pada kebenaran juga BAJA)
BAJA :
“Inda baitu, Pa, ambo inda punya musuah siapo pun. Ambo inda
ka manjaga CAKRA se, hanyo inyo adiak den satu satunyo” (Bukan itu, Pak, saya
tidak mempunyai musuh siapa pun. Saya tidak akan berperang dengan siapa pun.
Saya hanya akan menjaga CAKRA, hanya dia adik saya satu-satunya)
DATUK MUARO memandang wajah BAJA dalam-dalam, kemudian
memeluk BAJA.
BAJA :
“CAKRA inda biso dicagah. Cubo cigo langkahnyo se payah, baa
ka baparang. Ambo inda namuah mancigo ado darah di kaluarga awa” (CAKRA tidak
bisa di cegah. Coba lihat langkahnya saja lemah, bagaimana dia akan berperang.
Saya tidak mau melihat ada darah di keluarga kita)
YIEN MEI terlihat kecewa dan khawatir kalau BAJA ikut
menemani CAKRA berperang.
YIEN MEI bangkit dan meninggalkan ruangan.
DATUK MUARO membaca raut wajah YIEN MEI yang kecewa akan
rencana kepergian BAJA.
DATUK MUARO :
“Apa pacayo ka BAJA, jaga CAKRA bai-bai yo” (Bapak percaya
pada BAJA, jaga CAKRA baik baik yah)
DATUK MUARO langsung bangkit dengan perlahan meninggalkan
ruangan dengan raut wajah penuh kegundahan.
CUT TO
85. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - KAMAR KAMBARLEN - MALAM
KAMBARLEN, CAKRA
CAKRA sedang duduk di pinggir tempat tidur.
KABARLEN duduk dekat CAKRA.
KAMBARLEN :
“Aa karajo waang tu ?” (Apa-apaan sih kamu ?)
CAKRA
“Manga tu, Pa ?” (Kenapa memangnya, Pak ?)
KAMBARLEN :
“Iyo, aa nan waang tau tentang parang ? Nan inda-inda se !”
(Iya, apa yang kamu tahu tentang perang ? Yang tidak-tidak saja kamu !)
CAKRA :
“Ambo lah gadang, Pa… Iko kawajiban ambo bela nagari” (Saya
sudah besar, Pak… Ini kewajiban saya membela negeri)
KAMBARLEN :
“Cubo piki lai masa-masa, KRA” (Coba kamu pikir lagi
matang-matang, KRA)
CAKRA :
“Alah, Pa” (Sudah, Pak)
KAMBARLEN :
“Aa sabananyo nan waang cari ?” (Apa sebenarnya yang kamu
cari ?)
CAKRA :
“kalau lah kiranyo ado kamanangan jo kagamilangan urang Awa
malawan Balando, pastilah namo ambo kan manjadi basa. Ambo inda namuah di siko
sampai gae jo mati di siko inda baguno…” (Kalaulah kiranya ada kemenangan dan
kegemilangan kita melawan Belanda, pastilah nama saya akan menjadi besar
dikemudian hari. Saya tidak mau di sini sampai tua dan mati tidak berguna…)
KAMBARLEN :
“Iko inda masalah kalah jo manang, CAKRA, iko parang” (Ini
bukan masalah menang atau kalah, CAKRA, ini adalah perang”
CAKRA :
“Ambo mohon Apa jaan malarang ambo” (Saya mohon Bapak jangan
melarang saya)
CAKRA pergi berlalu meninggalkan ruangan.
KAMBARLEN termenung risau.
CUT TO
86. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - DEPAN RUMAH - MALAM
YIEN MEI, BAJA, DATUK MUARO
BAJA sedang berdiri di depan halaman rumah.
BAJA sedang memikirkan sesuatu tentang CAKRA.
YIEN MEI datang menghampiri dari dalam rumah.
YIEN MEI :
“kamu tidak harus pergi, JA”
BAJA terdiam dengan pandangan kosong ke depan.
YIEN MEI :
“BAJA…”
BAJA :
“Aku tidak bisa membiarkan CAKRA pergi seorang diri. Sudah
sejak kecil dia bersamaku”
YIEN MEI :
“Tapi CAKRA adalah CAKRA, dia sudah besar. Biarkan dia
tentukan hidupnya sendiri”
BAJA :
“Sudah sejak kecil aku menjaganya”
YIEN MEI :
“Coba dengarkan aku BAJA”
BAJA :
(seolah tidak mendengar ucapan YIEN MEI) “CAKRA anak yang
ceroboh, aku harus menjaganya”
YIEN MEI :
“BAJA…”
BAJA :
“Dia adikku satu-satunya”
YIEN MEI :
(memegang tangan BAJA) “Tapi aku takut kehilangan kamu BAJA”
BAJA terdiam.
BAJA memandang wajah YEIN MEI.
YIEN MEI :
“Aku takut kamu menginggalkan aku BAJA… Aku mencintaimu
BAJA…”
BAJA :
“Aku harus pergi, MEI”
YEIN MEI meninggalkan BAJA sambil menangis terisak-isak ke
dalam rumah.
BAJA berdiri dan kembali diam.
INSERT. DATUK MUARO memperhatikan dari jendela kamar.
FADE OUT
FADE IN
87. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - PAGI
KAMBARLEN, BAJA, YEIN MEI, CAKRA, DATUK MUARO
KAMBARLEN menyiapkan pelana kuda untuk CAKRA (meski
KAMBARLEN tidak setuju akan kepergian CAKRA, tetapi ia tidak bisa berbuat
apa-apa)
BAJA menyiapkan pelana kudanya sendiri.
YIEN MEI terus memandangi BAJA dengan mata yang berkaca-kaca
dari jendela rumah.
KAMBARLEN :
(memegang pundak CAKRA) “CAKRA, kalau situasi inda
bamungkinkan, segera lah ka pulang” (CAKRA, kalau situasinya tidak
memungkinkan, segeralah pulang)
CAKRA :
(menaiki kuda) “Iyo, Pa”
KAMBARLEN :
(mendekati BAJA dan berbisik) “Jaga adiak wa yo…” (Jaga
adikmu ya…)
BAJA mengangguk.
BAJA langsung menaiki kuda.
BAJA dan CAKRA perlahan meninggalkan rumah.
KAMBARLEN dan melepas kepergian BAJA dan CAKRA.
BAJA sejenak menoleh pada YEIN MEI yang menangis namun tetap
memandang kepergian BAJA.
INSERT. DATUK MUARO memandang kepergian CAKRA dan BAJA dari
balik jendela kamar.
Wajah DATUK MUARO begitu sedih dan gundah.
FADE OUT
FADE IN
88. EXT.
SUNGAI BATANG GANTING - TEPI SUNGAI - PAGI
PASUKAN TENTARA BELANDA DIPIMPIN OLEH MAYOR ELIER.
EXTABLISH. Pemandangan Sungai Batang Ganting.
TEXT. Sungai Batang Ganting, Sumatera Barat, 23 April 1935.
Pasukan Tentara Belanda yang berjumlah ratusan dipimpin oleh
MAYOR ELIER menyusuri tepi Sungai Batang Ganting.
CUT TO
89. EXT.
SUNGAI BATANG GANTING - PAGI
PASUKAN TENTARA BELANDA DIPIMPIN OLEH MAYOR ELIER
Pasukan Tentara Belanda menyebrangi Sungai Batang Ganting.
CUT TO
90. EXT.
SUNGAI BATANG GANTING - TEPI SUNGAI - PAGI
PASUKAN TENTARA BELANDA DIPIMPIN OLEH MAYOR ELIER, PASUKAN
PRAJURIT PADERI, KOMANDAN PASUKAN PRAJURIT PADERI
Pasukan Tentara Belanda berjalan beriringan di sebereang
Sungai Batang Ganting.
INSERT. Ratusan Pasukan Prajurit Paderi mengintai dari balik
semak-semak belukar dan tebing-tebing terjal.
CUT TO
BAJA di samping CAKRA dan bersama Pasukan Prajurit Paderi
lainnya mengintai di balik rimbunnya ilalang.
Bedil, tombak dan parang terhunus disetiap tangan Para
Prajurit Paderi.
Seorang Komandan Pasukan Prajurit Paderi memberi aba-aba
untuk bergerak perlahan ke depan.
CAKRA memegang senapan.
BAJA memegang senapan dan tombak kecil di pinggangnya.
CUT TO BACK
MAYOR ELIER memerintahkan pasukanya untuk berhenti
melangkah, karena terdengar suara yang mencurigakan.
Komandan Pasukan Prajurit Paderi berteriak memberi aba-aba menyerang
: “Seraaang….!!!”
Ratusan Prajurit Paderi keluar dari balik semak-semak dan
balik-balik tebing-tebing, sambil menembakan senjatanya.
Para Prajurit Paderi terus maju mendekat ke arah Pasukan
Tentara Belanda.
Beberapa Tentara Belanda tertembak dan tumbang.
Beberapa Prajurit Paderi jatuh terseungkur terkena peluru
Tentara Belanda.
Terjadi peperangan sengit dan saling berhadapan antara
Pasukan Prajurit Paderi dan Pasukan Tentara Belanda.
CAKRA maju beberapa langkah dan tiarap menghindari desingan
puluhan peluru di atas kepalanya.
BAJA tidak menembakkan senjatanya. Ia hanya terus berada di
samping CAKRA dan mengikutinya.
BAJA memuntahkan pelurunya ke arah Tentara Belanda yang
tiba-tiba saja muncul di belakangnya.
Tiba-tiba CAKRA bangkit dan maju memberondong peluru ke Para
Tentara Belanda dengan sangat berani.
Seorang Tentara Belanda sedang membidik CAKRA dan siap
menembak.
BAJA bangkit dan langsung menyergap tubuh CAKRA agar rebah
ke tanah.
Sambil meyergap CAKRA, BAJA secepat kilat melempar tombak
kecil ke arah Seorang Tentara Belanda yang sedang membidik CAKRA, hingga tombak
BAJA menancap tepat di lehernya.
Tentara Belanda itu jatuh tersungkur seketika.
Pasukan Belanda terdesak.
MAYOR ELIER memerintahkan pasukannya untuk mundur.
CUT TO
91. EXT. SUNGAI
BATANG GANTING - PAGI
PASUKAN TENTARA BELANDA DIPIMPIN OLEH MAYOR ELIER, PASUKAN
PRAJURIT PADERI
Pasukan Tentara Belanda yang terdesak terus mundur dan
kembali menyeberangi Sungai Batang Ganting.
Pasukan Prajurit Paderi masih memberondong dari berbagai
arah.
Akhirnya MAYOR ELIER dan sisa pasukannya mundur lalu
menghilang di balik jalan terjal di seberang Sungai Batang Ganting.
CUT TO
92. EXT.
SUNGAI BATANG GANTING - TEPIAN SUNGAI - PAGI
BAJA, CAKRA, PASUKAN PRAJURIT PADERI, KOMANDAN PASUKAN
PRAJURIT PADERI
Pemandangan Puluhan Tentara Belanda yang tumbang di tepian
Sungai.
Beberapa Prajurit Paderi pun tampak tergeletak di mana-mana.
Beberapa Prajurit Paderi bangkit perlahan dan tergopoh-gopoh
karena terluka.
Para Prajurit Paderi melucuti dan mengambil senjata Para
Tentara Belanda yang sudah tewas.
Beberapa Tentara Belanda yang terluka dan tidak mampu mundur
segera dibantai oleh Prajurit Paderi.
BAJA memandang kosong menyaksikan mayat-mayat yang bersimbah
darah hingga mengalir ke Sungai Batang Ganting.
CUT TO
93. EXT. HUTAN
SIPISANG - JALAN SETAPAK - SIANG
BAJA, CAKRA, PASUKAN PRAJURIT PADERI
BAJA, CAKRA dan PASUKAN PADERI berjalan perlahan menuju
BENTENG BONJOL di Alahan Panjang.
Beberapa diantara Para Tentara Belanda memandu dan membopong
Prajurit Paderi yang terluka dan tewas.
Angin bertiup keras dan bau anyir darah menyengat hingga
meresap ke hidung BAJA.
Kaki-kaki Para Prajurit Paderi tampak penuh lumpur karena
berjalan di atas tanah berlumpur dalam Hutan Sipisang.
Hujan turun dengan deras. Pasukan Prajurit Paderi terus
berjalan meski basah kuyup.
CUT TO
94. EXT.
BENTENG BONJOL - GERBANG DEPAN - SIANG
BAJA, CAKRA, PASUKAN PRAJURIT PADERI
PASUKAN PRAJURIT PADERI tiba di BENTENG BONJOL di Alahan
Panjang.
FADE OUT
FADE IN
95. INT.
BENTENG BONJOL - RUMAH PASUKAN - SORE
EXTABLISH.
EXTABLISH. Rumah Pasukan, Rumah Perawatan, Masjid, Pohon
Besar, Ladang dan Sawah.
Para Pasukan
Paderi yang hilir-mudik
Beberapa
perajurit Paderi yang sedang dirawat di Rumah Perawatan.
CUT TO
96. INT.
BENTENG BONJOL - RUMAH PASUKAN - SORE
BAJA, CAKRA
BAJA dan CAKRA sedang makan.
{Kamera menyorot piring kaleng di tangan BAJA dan CAKRA,
dengan lauk-pauk ubi rebus dan jariang balado (sejenis jengkol goreng bercampur
ikan teri dan sambal)}
CAKRA :
“Makasih BAJA, waang la manyalamean aden” (Terima kasih
BAJA, kamu telah menyelamatkan aku)
BAJA tidak menjawab dan terus makan dengan lahap.
CAKRA :
(merebut piring dari tangan BAJA) “Hey, waang mandanga inda
!?” (Hey, kamu mendengar tidak !?)
BAJA :
“Iyo, mandanga. Kamari piriang den” (Iya, mendengar.
Kembalikan piringku)
CAKRA mengembalikan piring BAJA.
BAJA kembali makan.
BAJA :
(sambil makan) “CAKRA, bukan kali iko sajo waang den
salamekan ha… Dulu waang hampir mati wakatu waang ka bapijak jawi…” (CAKRA,
bukan sekali ini saja nyawamu aku selamatkan… Dulu kamu hampir mati terinjak
sesekor sapi…)
CAKRA :
(tertawa) “Hahaha… Inda ka mungkin aden mati bapijak jawi
ma” (Haha… Tidak mungkin juga aku mati cuma karena terinjak seekor sapi)
CAKRA bangkit lalu menjahili dengan mengoleskan sambal ke
mulut BAJA.
CAKRA langsung berlari menjauh.
BAJA :
(kaget dan kesal) “Kanciang waang !...” (Brengsek kamu !...)
FADE OUT
FADE IN
97. INT.
BENTENG BONJOL - RUMAH PASUKAN - MALAM
BAJA, CAKRA, PARA PRAJURIT PADERI
Suasana di dalam ruangan Rumah Pasukan yang berbentuk
memanjang.
Lantai yang tebuat dari anyaman bambu.
Para Prajurit Paderi sedang istirahat dengan berbaring
telentang berjajar.
BAJA dan CAKRA belum tidur. Mereka berdua terlentang sejajar
menghadap ke langit-langit ruangan.
BAJA :
“CAKRA…”
CAKRA :
“Hmm…”
BAJA :
“Waang alah manemba Balando, baa kalau kito pulang lai”
(kamu kan sudah menembak Belanda, bagaimana kalau kita pulang ?)
CAKRA :
“BAJA, waang alah mambunuah harimau, maso jo panjajah waang
takui !?” (BAJA, kamu sudah membunuh harimau, masa sama penjajah saja takut !?)
BAJA :
“Aden inda takui do” (Aku tidak takut)
CAKRA :
“Kalau waang inda takui, diam di siko sampai Balando paih
dari nagari iko... Itu namonyo lalaki !” (Kalau kamu tidak takut, diam di sini sampai Belanda pergi dari negeri ini…
Itu baru namanya lelaki !)
BAJA :
“Payah ngece jo waang mah” (Susah ngomong sama kamu)
CAKRA :
(menguap dan memejamkan matanya) “Huaaah….”
CUT TO
98. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - MALAM
DATUK MUARO, YIEN MEI
YIEN MEI sedang memberikan obat kepada DATUK MUARO.
DATUK MUARO :
“MEI, kamu mencintai BAJA ?”
YIEN MEI terlihat gugup mendengar perkataan DATUK MUARO.
YIEN MEI tertunduk dan diam.
DATUK MUARO tersenyum mamandang YIEN MEI.
YIEN MEI perlahan mengangkat wajahnya dan melihat wajah
DATUK MUARO yang tersenyum.
YIEN MEI ikut tersenyum kecil dan malu-malu.
DATUK MUARO :
“ATU tau BAJA mencintai kamu juga. Ya kalau kamu mencintai
BAJA, tolong sayangi dia dengan baik”
YIEN MEI :
“ATU tidak marah ?”
DATUK MUARO :
“Marah karena apa ?”
YIEN MEI :
“Karena saya mencintai BAJA”
DATUK MUARO :
“Tidak, MEI, ATU tidak marah”
YIEN MEI :
“Tapi saya ini orang cina, ATU”
DATUK MUARO membelai rambut YIEM MEI yang duduk di
sampingnya.
DATUK MUARO :
“MEI, jika kelak kamu berjodoh dengan BAJA, mudah saja, kamu
tinggal mengucapkan syahadat, maka kamu halal hidup bersama BAJA”
YIEN MEI mendengarkan dengan seksama.
DATUK MUARO :
“Tetapi jika kamu tidak berkenan mengucapkan syahadat, dan
BAJA tetap mau dengan kamu, kalian bisa menggunakan cara lain untuk tetap dapat
bersama. ATU tidak bisa memaksa, karena kalian sudah dewasa, dan BAJA punya
tanggung jawab sendiri terhadap Sang Penciptanya…”
YIEN MEI :
“ATU, saya bersedia dan ikhlas mengucapkan syahadat. Karena
di sini saya mendapatkan kebaikan dan kemuliaan…”
DATUK MUARO
(sedikit terkejut) “Benarkah ?”
YIEN MEI mengangguk.
DATUK MUARO Nampak terharu dan bahagia.
FADE OUT
FADE IN
99. EXT.
BENTENG BONJOL - PAGI
CAKRA, EMPAT ORANG PRAJURIT PADERI (IMAM, ALI, WAHYU, dan
SIEL)
CAKRA sedang membersihkan laras senjatanya.
IMAM, ALI, WAHYU dan SIEL mendekat ke arah CAKRA.
IMAM :
(berbisik pada CAKRA) “Waang ikui inda ?” (Kamu mau ikut
tidak ?)
CAKRA :
“Kama” (Kemana ?)
IMAM :
“Sttt…, diam-diam…” (Sttt…, jangan berisik…)
CAKRA diam namun dengan ekspresi wajah yang ingin tahu.
ALI :
(berbicara dengan nada rendah) “Wakatu tempur patang Pasukan
Balando tapacah duo. Pasukan nan cie jo
MAYOR EILER balia ka arah Lubuak Sikaping, tapi pasukan nan cie lai tasase ka
rimbo arah Mampung Malayu. Rancananyo awa ba ampe na mangaja pasukan nan tasase
tu…” (Waktu kita bertempur kemarin dengan Pasukan Belanda, pasukan mereka
terpecah dua. Pasukan yang satu bersama MAYOR ELIER kembali ke arah Lubuk
Sikaping, tapi pasukan yang satu lagi tersesat ke dalam hutan ke arah Kampung
Melayu. Rencananya kita berempat akan mengejar pasukan yang tersesat itu…)
CAKRA :
“Hanya barampe ?” (Cuma berempat ?)
ALI :
“Pasukan nan tasase tu lah payah, lah luko-luko, jo
palurunyo se lah abiah” (Pasukan yang tersesat itu sudah lemah, sudah
luka-luka, dan persediaan pelurunya pun sudah habis)
IMAM :
“Iko tanpa sepangatahuan DATUAK TANJUANG… Kalau kito dape
marampas sanjato jo mariam pasukan nan tasase tu, kito bisa baranca namo” (Ini
tanpa sepengetahuan DATUK TANJUNG… Kalau kita dapat merampas senjata dan meriam
pasukan yang tersesat itu, nama kita akan disegani)
CAKRA :
(bersemangat) “Jadih, ayo barangke !” (Baik, ayo berangkat
!)
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan SIEL pun berangkat meninggalkan
BENTENG BONJOL dengan sembunyi-sembunyi.
CUT TO
100. EXT. HUTAN
- PAGI
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU, SIEL
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan SIEL berlari melewati semak
belukar.
CUT TO
101. INT.
BENTENG BONJOL - RUMAH PASUKAN - PAGI
BAJA
BAJA baru terbangun dari tidurnya.
BAJA menoleh CAKRA namun sudah tidak ada di sebelahnya.
CUT TO
102. EXT. RUMAH
PASUKAN - HALAMAN DEPAN - PAGI
BAJA, PASUKAN PADERI
Beberapa Prajurit Paderi sedang bercakap-cakap.
BAJA tampak mencari-cari CAKRA.
CUT TO
103. EXT.
BENTENG BONJOL - BENTENG PERTAHANAN DEPAN - PAGI
BAJA, PARA PRAJURIT PADERI
BAJA berjalan mencari-cari CAKRA diantara Para Prajurit
Paderi yang sedang membersihkan beberapa buah meriam di depan Benteng Bonjol.
{Kamera menyorot beberapa meriam buatan Inggris milik
Pasukan Napoleon Bonaparte yang dibeli Pasukan Paderi secara second hand.}
CUT TO
104. EXT.
BENTENG BONJOL - LAPANGAN KECIL - PAGI
BAJA, PARA PRAJURIT
PADERI
BAJA masih
mencari-cari CAKRA di antara sekelompok prajurit yang sedang bermain sepak
takraw.
Seorang lelaki paruh
baya mendekati BAJA.
LELAKI PARUH BAYA :
“Wa BAJA, yo ?”
(Kamu BAJA, kan ?)
BAJA :
“Iyo, manga tu ?”
(Benar, ada apa ?)
LELAKI PARUH BAYA :
“DATUAK TANJUANG
mancari wa” (DATUK TANJUNG mencari kamu)
CUT TO
105. INT.
BENTENG BONJOL - RUANGAN DATUK TANJUNG - PAGI
BAJA, LELAKI PARUH BAYA,
DATUK TANJUNG
DATUK TANJUNG :
“BAJA, awa mandape kaba kalau CAKRA adiak wa jo Ampe Urang
kawannyo paih ka Kampuang Malayu ka
mangaja Pasukan Balando nan tapacah patang. Taruih inyo inda mambari kaba ka
ambo…” (BAJA, saya mendapat kabar kalau CAKRA adikmu dengan Empat Orang lainnya
pergi ke Kampung Melayu untuk mengejar Pasukan Tentara Belanda yang terpecah
akibat perang kemarin. Mereka tidak meminta izin dahulu kepada saya…)
BAJA :
(cemas) “Taruih baa, TU ?” (Lalu bagaimana sekarang, TUK ?)
DATUK TANJUNG :
“Tu tindakan nan mambahyokan diri inyo surang. Inyo inda tau
kalau ado Pasukan Bantuan Balando di bantu Pasukan Jawa, Bugis, Madura jo Urang
Awa dari Batipuah, sadang barangke ka Kampuang Malayu ka mambantu pasukan nan
tasase tu. Tu bunuah diri namonya !” (Itu tindakan yang membahayakan diri
mereka sendiri. Mereka tidak menyadari kalau sekarang ada Pasukan Bantuan
Belanda dari Pasukan Jawa, Bugis, Madura,dan Orang Minang dari Batipuh, yang
sedang berangkat ke Kampung Melayu untuk membantu pasukan yang tersesat itu.
Mereka bunuh diri namanya !)
Wajah BAJA terlihat pucat mendengar berita tersebut.
BAJA :
“Taruih baa kini ko, TU ?” (Terus sekarang bagaimana, TUK ?)
DATUK TANJUNG :
“Wa inda bisa paih ka Kampuang Malayu, wa bisa taparange di
sinan. Parintahnyo pasukan awa batahan jo manyarang di Sipisang”(Kita tidak
bisa berangkat ke Kampung Melayu, kita bisa terperangkap di sana. Perintahnya
pasukan kita bertahan dan menyerang di Sipisang)
Mendengar penjelasan DATUK TANJUNG, BAJA langsung bergegas
meninggalkan ruangan tanpa pamit pada DATUK TANJUNG.
CUT TO
106. INT.
BENTENG BONJOL - RUMAH PASUKAN - PAGI
BAJA
BAJA menyambar tombak kecil dan senapannya.
BAJA langsung berlari keluar ruangan.
BAJA :
(geram ditahan) “Dasa ana bodoh !!” ( Dasar anak bodoh !!)
CUT TO
107. EXT.
BENTENG BONJOL - BAGIAN LUAR TEMBOK BENTENG BONJOL - PAGI
BAJA
BAJA berlari sangat kencang meninggalkan Benteng Bonjol dan
memasuki hutan.
FADE OUT
FADE IN
108. EXT.
SUNGAI TARAS - SIANG
BAJA
BAJA berlari melintasi Sungai Taras yang dangkal.
CUT TO
109. EXT. HUTAN
KAMPUNG MELAYU - SIANG
CAKRA, EMPAT ORANG PRAJURIT PADERI (IMAM, ALI, WAHYU, dan
SIEL)
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan
SIEL mengendap-enadap di antara tebing-tebing kecil, mengintai dan
mencari-cari Pasukan Belanda.
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan
SIEL terus maju perlahan menuju ke tanah yang rata di tengah hutan.
{Kamera menyorot tiga tubuh berseragam Tentara Belanda yang
terkapar di atas tanah}.
INSERT. Ratusan Pasukan Belanda bersama bala bantuan sejak
tadi telah mengintai gerak-gerik CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan SIEL dari balik rimbunya pepohonan HUTAN
KAMPUNG MELAYU.
CUT TO. BAJA berlari semakin kencang dan hampir mendekati
HUTAN KAMPUNG MELAYU.
CUT TO BACK.
CAKRA, IMAM, ALI, WAHYU dan
SIEL perlahan mendekati beberapa tubuh yang terkapar di tanah.
IMAM menyentuh sesosok tubuh tentara yang tertelungkup.
IMAM terkejut ketika melihat tubuh tersebut bukanlah mayat,
tapi dedaunan yang dimasukan ke dalam seragam Tentara Belanda.
IMAM :
(berteriak kepada kawan-kawannya) “Perangkaaap…!
Perangkaaap…!!”
TAPI baru saja IMAM berteriak, suara letusan-letusan
tembakan meluncur dari Para Tentara Belanda ke arah IMAM, CAKRA, ALI, WAHYU dan
SIEL.
ALI langsung tumbang karena dadanya tertembus timah panas.
SIEL tertembak pahanya.
IMAM, CAKRA dan WAHYU langsung melompat dan tiarap di antara
batang pohon yang tumbang.
Ratusan peluru masih memburu IMAM, CAKRA dan WAHYU.
SIEL terseok-seok berusaha bertahan untuk tetap bergerak,
namun terlalu parah lukanya.
Suara senapan berhenti berbunyi.
SIEL :
(menahan sakit) “WAHYU, ukh tolong…”
WAHYU :
“Wa harus manolong SIEL !” (Kita harus menolong SIEL !)
IMAM :
“Jaan !, wa biso mati sadonyo”(Jangan !, kita bisa mati
semua)
CAKRA :
“Wa lah ta kapung” (Kita sudah terkepung)
Tak lama satu tembakan meluncur dan tepat kena kepala SIEL.
WAHYU, IMAM dan CAKRA terkejut.
WAHYU :
(ketakutan dan menangis) “Ondeh…, SIEL mati… wa mati di
siko, MAM… Wang ngece Balando lah lamah… huhu…” (Aduh…, SIEL mati…, kita mati
di sini, MAM…. Kamu bilang Belanda sudah lemah…huhu…)
IMAM :
(membentak) “Diam waang !” (Diam kamu !)
CAKRA, IMAM dan WAHYU sudah di kelilingi Pasukan Tentara
Belanda dan sekutunya.
IMAM :
“CAKRA, waang jo WAHYU pai ka tabiang tu, bia den disiko
manghalau…” (CAKRA, kamu dan WAHYU pergi ke tebing itu, biar saya di sini yang
menghadang…)
CAKRA mengangguk.
IMAM memuntahkan pelurunya ke berbagai arah.
CAKRA dan WAHYU langsung berlari menuju tebing.
Tapi pada saat IMAM muncul dari batang pohon menembakan
senjata, Para Tentara Belanda memberondong tubuh IMAM hingga IMAM tewas
seketika.
WAHYU yang berlari di belakang CAKRA tertembak di
punggungnya dan jatuh tersungkur.
Sementara lengan kanan CAKRA tertembus peluru hingga CAKRA
pun tersungkur.
Tiba-tiba muncul BAJA, dan secepat kilat melompat dari atas
tebing.
BAJA meraih lengan CAKRA dan memapahnya menerobos
semak-semak.
Para Tentara Belanda yang dipimpin MAYOR EILER bersama
sekutunya muncul dari semak belukar dengan posisi yang masih siap siaga.
MAYOR EILER :
“Stop schieten !!” (Berhenti menembak…!!)
SEORANG PENERJEMAH SUKU JAWA :
(berteriak mengikuti MAYOR EILER)“Berhenti menembaaaak…!!!”
Pasukan Tentara Belanda memerika mayat WAHYU, SIEL, IMAM dan
ALI.
MAYOR EILER :
“Krachten” (pasukan)
PASUKAN mendekat.
MAYOR EILER :
“Tien mensen die streven naar !” (Lima orang saja yang
mengejar !)
SEORANG PENERJEMAH SUKU JAWA :
“Masing-masing Kelompok Pasukan mengutus satu orang
untuk yang mengejar !!!”
Masing-masing perwakilan dari kelompok sekutu Pribumi tampak
maju satu demi satu.
5 Orang Tentara Pribumi Sekutu berdiri berbaris dan bersiap
untuk berangkat mengejar BAJA.
{Kamera menyorot SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA}
{Kamera menyorot SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS}
{Kamera menyorot SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA}
{Kamera menyorot SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON}
{Kamera menyorot SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG}
5 Orang Tentara Pribumi Sekutu Belanda langsung bergegas
mengejar BAJA dan CAKRA ke dalam hutan.
Semua Pasukan Belanda kembali ke arah Sipisang.
CUT TO
110. EXT. HUTAN
- SORE
BAJA, CAKRA
BAJA masih memapah CAKRA.
{Kamera menyorot darah yang menetes dari lengan CAKRA}
CUT TO
111. EXT. HUTAN
- SORE
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA masih terus berlari
mengajar BAJA dan CAKRA.
CUT TO
112. EXT. HUTAN
- SORE
BAJA, CAKRA
CAKRA :
“BAJA, baranti sabanta, aden inda kue…” (BAJA. berHenti
sebentar…, saya tidak kuat…)
BAJA :
“Jaan di siko, di siko alun aman” (Jangan di sini, di sini
belum aman…)
CAKRA :
(kesakitan) “Uukh….”
Lalu BAJA mengangkat tubuh CAKRA di pundaknya.
BAJA kembali melangkah sekuat tenaga.
CUT TO
113. EXT. HUTAN
- SORE
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA bergerak sangat cepat
melangkah menembus belukar.
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA bersenjatakan senapan
panjang dengan belati yang terpasang di moncong senapan.
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA berhenti dan
memperhatikan ceceran darah CAKRA yang terjatuh ke tanah.
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA kembali melanjutkan
pengejaran.
CUT TO
114. EXT. HUTAN
- SORE
5 ORANG TENTARA PRUBUMI SEKUTU BELANDA, BAJA, CAKRA
Dari kejauhan SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA melihat BAJA
yang sedang menggendong CAKRA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA memerintahkan pasukannya untuk
berhenti bergerak.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA mengarahkan senjatanya ke arah
BAJA dan CAKRA.
Peluru SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA tepat mengenai bagian
belakang kepala CAKRA.
Peluru tembus hingga menyerempet telinga BAJA.
CAKRA tewas seketika.
BAJA terjatuh.
CUT TO
115. EXT. HUTAN
- SORE
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA, BAJA, CAKRA
BAJA perlahan merebahkan tubuh CAKRA yang tidak bergerak
lagi.
BAJA memandangi jasad CAKRA.
CU. Mata BAJA tiba-tiba memerah menahan marah dan kepedihan.
Tubuh BAJA pun lalu bergetar sambil memandangi jasad CAKRA
yang berlumuran darah segar.
CU. Tangan baja mengepal keras.
CUT TO
DATUK GEDE BARAYA di Bukit Hutan Gadang merasakan kontak
batin atas kematian CAKRA dan kemarahan BAJA yang begitu besar.
Di Bukit Hutan Gadang angin bertiup dengan kencang.
DATUK GEDE BARAYA berdiri di depan gubuk membaca jampi-jampi
dan mantra.
NARATOR :
[Kemarahan BAJA yang besar seolah mengirimkan pertanda pada
DATUK GEDE BARAYA. Kini kekuatan besar yang lama tersembunyi seolah meledak tak
terkendali]
CUT TO BACK
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA mendekat ke arah
jasad CAKRA yang tergeletak dan BAJA sudah tidak berada di tempat.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA memeriksa jasad CAKRA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA (berbicara dengan nada rendah)
“Kalian berpencar, tangkap yang satu orang lagi !”
5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA pun berpencar menjadi
dua kelompok.
INSERT. BAJA mengintai di atas pohon dengan padangan mata
yang memburu.
INSERT. CU. Tangan kanan BAJA yang penuh darah mencengkram
tombak besi kecil di pinggangnya.
INSERT. CU. Tangan kiri BAJA memegang badik panjang.
CUT TO
116. EXT. HUTAN
- SORE
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA, SOSOK TENTARA BERTAMPANG
BUGIS, BAJA
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA dan BUGIS mengendap-endap mencari BAJA.
BAJA melompat cepat ke belakang SOSOK TENTARA BERTAMPANG
MADURA dan menyayat urat nadi kakinya.
{Kamera menyorot urat nadi kaki LELAKI MADURA yang
memuncratkan darah}
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA memekik keras.
BAJA langsung melompat ke dalam semak-semak.
Seperti tidak merasakan sayatan di kakinya, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MADURA langsung mengejar ke dalam semak-semak.
Di ikuti oleh SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS di belakangnya.
CUT TO
117. EXT. HUTAN
- SORE
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA, BAJA
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA terus berlari mengejar BAJA
yang berada beberapa langkah di depannya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS tertinggal di belakang.
BAJA tiba-tiba menghilang.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA berhenti berlari dan
mengawasi sekitar dengan seksama.
Senapan di tangan SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA siap
diletuskan.
Tiba-tiba BAJA muncul dari semak di sisi SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MADURA, dan meyerang dengan cepat.
Badik panjang BAJA mengelebat keras ke arah wajah SOSOK
TENTARA BERTAMPANG MADURA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA sangat sigap dan menghindar.
Kaki BAJA menendang senapan dari tangan SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MADURA.
Senapan terlepas dari tangan SOSOK TENTARA BERTAMPANG
MADURA, dibarengi dengan letusan peluru, karena pelatuk senapan tertekan oleh
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA.
Lalu disusul sabetan tombak BAJA.
Kali ini sabetan tombak BAJA menggores luka yang cukup dalam
di wajah SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA.
Dengan geram SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA dengan cepat
mencekik leher BAJA dan mendorong ke batang pohon.
Tubuh SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA yang besar dapat
mengangkat seluruh tubuh BAJA dengan cekikannya.
BAJA meronta hingga sulit bernafas.
Dengan membabi-buta BAJA menyabet dan menancapkan badiknya
hingga menggores lengan SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA, lalu menancapkannya di
pundaknya.
Seolah tidak merasakan sakit SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA
mengangkat tubuh BAJA dan melemparkannya ke jurang.
BAJA terlempar dan menyangkut di pohon di seberang jurang.
BAJA bergerak dan merambat melalui batang pohon.
BAJA berdiri di batang pohon memandang ke arah SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MADURA.
Melihat BAJA selamat dan masih hidup, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MADURA melompat ke jurang ke arah pohon dimana BAJA mendarat.
Ketika SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA mendarat di batang
pohon, tiba-tiba batang pohon tersebut patah karena tidak dapat menahan tubuh
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA yang besar.
BAJA hanya memandangi SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA jatuh
ke dasar jurang.
CUT TO
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dan MINANG yang sedang
mencari BAJA di dasar jurang terkejut, karena dihadapannya jatuh sebatang dahan
pohon beserta SOSOK TENTARA BERTAMPANG MADURA dalam kondisi sudah tewas.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dan MINANG kembali bergerak
mengejar BAJA.
CUT TO BACK
BAJA turun dari pohon dan kembali berlari.
CUT TO
118. EXT. HUTAN
- SORE
BAJA, SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MINANG
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dan MINANG melihat sekelebat
tubuh BAJA berlari di antara pohon-pohon besar.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dan MINANG mengejar BAJA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON meletuskan senapannya dan
peluru hampir mengenai BAJA di antara pepohonan.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON membuang senapannya karena
pelurunya habis.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON mengambil tombak panjang di
punggungnya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON mengejar BAJA beberapa
langkah di belakangnya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG tertinggal beberapa langkah
di belakang LELAKI AMBON.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON berlari di belakang mengejar BAJA dan hampir
saja menyergapnya.
Ketika sampai di semak-semak BAJA melompat meraih akar pohon
yang berjuntai.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON langsung menerobos
semak-semak.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON tidak sadar di balik semak
terdapat tebing terjal yang di bawahnya terdapat batu-batu cadas.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON jatuh berguling di antara
batu-batu cadas, tapi SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON langsung bangkit dan
kembali mengejar BAJA.
BAJA terkejut dan diam sejenak di bibir tebing jurang,
kemudian kembali berlari.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG baru sampai di bibir tebing
jurang, kemudian langsung kembali mengikuti SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON
mengejar BAJA.
CUT TO
119. EXT. HUTAN
- SORE
BAJA, SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MINANG
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dan MINANG bersiaga mencari
cari BAJA dangan langkah yang pelan.
BAJA muncul di belakang SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG.
BAJA langsung mencekik dan menodongkan tombak kecil ke leher
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG.
BAJA :
(geram) “Buang senapannya !!”
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON menoleh dan melihat SOSOK
TENTARA BERTAMPANG MINANG sedang di sandra.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON mengangkat tombaknya dan siap
di lemparkan ke arah BAJA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG perlahan menurunkan
senapannya.
Tetapi SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG tidak membuang
senapannya, melainkan malah menembak telapak kaki BAJA.
BAJA langsung menikam leher SOSOK TENTARA BERTAMPANG MINANG
dengan tombak kecilnya.
LELAKI AMBON melemparkan tombak ke lengan SOSOK TENTARA
BERTAMPANG MINANG dan tembus mengenai bahu BAJA.
Bahu BAJA terluka dan berdarah.
BAJA terhuyung ke belakang.
BAJA mundur dan langsung masuk ke semak-semak kembali.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON mencabut tombak yang menancap
di LELAKI MINANG.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON mengobrak-abrik semak-semak
mencari BAJA, tetapi BAJA sudah menghilang.
CUT TO
120. EXT. HUTAN
- SORE
BAJA
Di balik batang pohon besar BAJA menyobek bajunya dan
membalut luka di telapak kakinya.
BAJA kembali menyobek pakainnya dan mengelap semua darah
yang berada di tubuhnya.
{Kamera menyorot tangan BAJA yang menggenggam kuntalan
sobekan kain baju yang berlumur darah}
Kemudian BAJA dengan terseok-seok kembali bergerak pergi.
CUT TO
121. EXT. HUTAN
- SUNGAI - SORE
BAJA, SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON
BAJA melemparkan
kuntalan sobekan kain baju yang berlumur darah ke tengah sungai.
{Kamera menyorot air sungai yang merah karena darah}
BAJA berdiri di pinggir sungai.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON yang sedang mengejar BAJA
muncul di sebrang sungai.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON dengan wajah beringas
langsung melompat ke sungai bermaksud untuk melintas dan memburu BAJA.
Tapi buaya besar langsung menyambar tubuh SOSOK TENTARA
BERTAMPANG AMBON.
BAJA memandangi SOSOK TENTARA BERTAMPANG AMBON yang menjerit
dan meronta-ronta dilahap buaya.
BAJA meninggalkan sungai.
CUT TO
122. EXT. HUTAN
- SUNGAI - SORE
BAJA, SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG BUGIS
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA dan BUGIS sedang mengintai dan
bergerak perlahan.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS :
“Orang itu berberak seperti iblis”
CU. Kaki BAJA yang melangkah dan menginjak ranting.
Mendangar suara ranting yang terpijak, SOSOK TENTARA
BERTAMPANG JAWA langsung melepas tembakan ke arah rimbunya semak belukar.
Peluru mengenai tombak di tangan BAJA hingga terdengar suara
denting keras, dan tombak BAJA terlepas dari tangannya dan jatuh.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA dan BUGIS langsung melompat ke
dalam semak-semak.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA dan BUGIS tidak mendapati BAJA
di dalam semak-semak.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA dan BUGIS hanya melihat tombak
baja yang tergeletak di tanah.
BAJA turun dari atas batang pohon dengan cara berjuntai di
akar pohon dengan posisi badan terbalik tepat di belakang SOSOK TENTARA
BERTAMPANG BUGIS.
BAJA mencekik leher SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS dan
dibawanya ke atas pohon dengan berjuntai akar pohon.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA tidak menyadari karena
posisinya membelakangi SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS.
Ketika SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA menoleh ke belakang,
SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS sudah lenyap.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA semakin bersiaga dengan
moncong senjata yang terhunus.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA kejatuhan sesuatu di
kepalanya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA mengambil sesuatu di
kepalanya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA kagetnya ketika melihat benda
yang diambil di kepalanya adalah potongan lidah SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA menembakan senapannya ke atas
pohoh dengan membabi buta.
INSERT. Tangan BAJA mengambil serbuk putik bunga orchid
kuning yang beracun.
BAJA melompat tinggi dengan cepat tepat di atas tubuh SOSOK
TENTARA BERTAMPANG JAWA lalu menaburkan serbuk putik bunga tepat pada matanya.
Spontan SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA kalap memegangi
matanya, karena racun serbuk bunga membuat matanya menjadi perih dan tidak
dapat melihat.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS muncul dari balik semak-semak
dengan berteriak, mengaduh dan bicara tidak jelas, karena lidahnya telah
terpotong.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA semakin panik dan ketakutan
mendengar teriakan SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS yang tidak jelas.
Karena mata SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA tidak melihat,
maka ia pun menembak ke berbagai arah dan menembak SOSOK TENTARA BERTAMPANG
BUGIS terpat di kepalanya.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG BUGIS langsung tewas dan terkapar
di tanah.
Peluru senapan SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA habis.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA mengambil sebatang kayu dan
membabat dengan tidak tentu arah sambil terus memegang matanya yang masih
terkena reaksi racun putik bunga orchid kuning.
BAJA berdiri di atas batang pohon dan memandang tajam ke
arah SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA yang tengah kalap.
{Kamera menyorot tangan BAJA mengambil tombak pendeknya yang
berada si tanah}
BAJA melempar tombak tepat ke arah dada SOSOK TENTARA
BERTAMPANG JAWA.
SOSOK TENTARA BERTAMPANG JAWA terkapar di tanah bersimbah
darah.
FADE OUT
FADE IN
123. EXT. HUTAN
- SUNGAI - SORE
BAJA, CAKRA, 5 ORANG SEKUTU
BAJA mengumpulakan
jasad 5 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA.
BAJA mendekati jasad CAKRA.
BAJA memandangi jasad CAKRA.
BAJA menangis dan memeluk jasad CAKRA.
BAJA :
(menangis tersedu) “CAKRA, bodoh bana waang… Den ngece jaan
paih ba parang…huhuu… Den lah ngece, waang ka manjadi bangkai…inda mungkin ka
manjadi pahlawan… Pahlawan bodoh nan babunuah”” (CAKRA, bodoh sekali kamu… Aku
sudah bilang jangan ikut pergi berperang... huhuu… Dan aku sudah bilang, kamu
akan menjadi bangkai…tidak mungkin akan menjadi pahlawan… Pahlawan bodoh yang
didapat dari hasil membunuh…) (berteriak keras) “ CAKRAAA….!!!”
FADE OUT
FADE IN
124. EXT. HUTAN
- SUNGAI - MALAM
BAJA
BAJA duduk di bawah pohon dengan pandangan mata yang kosong.
BAJA depresi berat.
BAJA seperti orang yang tidak sadarkan diri dengan memotong
rambutnya beberapa helai dengan badik panjangnya yang tajam.
BAJA :
(berbicara pelan) “Hey CAKRA, jaan baranang di sinan, dalam
ainyo mah” (Hey CAKRA, Jangan berenang di sana, disana dalam airnya)
CUT TO
125. EXT. HUTAN
- SUNGAI - SORE
BAJA, CAKRA, 4 ORANG TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA
BAJA menguliti jasad dari mayat 4 ORANG TENTARA PRIBUMI
SEKUTU BELANDA.
BAJA membungkus jasad CAKRA dengan kulit 4 ORANG TENTARA
PRIBUMI SEKUTU BELANDA.
FADE OUT
FADE IN
126. EXT.
BENTENG BONJOL - PINTU GERBANG - PAGI
BAJA, CAKRA, PARA PRAJURIT PADERI, DATUK TANJUNG
BAJA tiba di depan gerbang BENTENG BONJOL.
Pintu benteng terbuka dan BAJA memasuki benteng sambil
membawa jasad CAKRA yang terselubung kulit manusia.
PARA PRAJURIT PADERI tampak menyingkir dan ngeri melihat
pemandangan mayat CAKRA yang diselubungi kulit manusia dan tubuh BAJA yang
berlumur darah.
Tangan BAJA masih mencengkram kuat tombak.
DATUK TANJUNG muncul karena melihat kerumunan prajuritnya
dengan kedatangan BAJA
Seseorang pasukan paderi mencoba mendekat dan melihat
keadaan jasad CAKRA.
BAJA langsung menodongkan tombaknya ke leher salah seorang
pasukan paderi yang mencoba melihat jasad CAKRA.
BAJA :
(berbicara dengan nada keras dan tegas) “Jaan mandakat jo
pagang adiak den !... Parang awa nan inda paguno mambunuah adiak den… Mundur
!!...” (Jangan mendekat dan pegang adikku !.... Perang kalian yang tidak
berguna membunuh adikku… Mundur !!...)
DATUK TANJUNG memberikan isyarat kepada salah seorang
Prajurit Paderi itu untuk mundur.
Salah seorang Prajurit Paderi dan yang lainnya mundur.
BAJA mendekat ke arah kudanya yang diikat di batang pohon di
dekat Rumah Pasukan.
BAJA meletakkan jasad CAKRA di atas pelananya.
BAJA naik ke punggung kuda dan pergi meninggalkan BENTENG
BONJOL.
CUT TO
127. EXT. NGARAI
SIANOK - JALAN SETAPAK - SIANG
EXTABLISH, BAJA
EXTABLISH. Indah pemandangan ngarai sianok bukit tinggi.
Kamera menyorot jalan berliku didasar ngarai sianok yang
berupa pasir putih disertai dengan air yang menggenang rendah dipermukaan jalan
setapak.
BAJA menunggang kuda dengan perlahan membawa jasad CAKRA
melewati jalan berliku didasar ngarai sianok
Pemandangan ngarai sianok solah menjadi pudar, kusam dan
kelam di mata BAJA. Karena kesedihan yang teramat sangat
CUT TO
128. EXT. PADANG
PANJANG - JALAN SETAPAK - SIANG
BAJA
BAJA menunggang kuda dengan perlahan membawa jasad CAKRA.
CUT TO
129. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMA DEPAN - SORE
BAJA, KAMBARLEN, DATUK MUARO, YIEN MEI
BAJA tiba di depan halaman rumahnya.
BAJA turun dari kuda dan hanya diri mematung di sisi kuda.
KAMBARLEN keluar dari rumah dan berlari ke arah BAJA.
KAMBARLEN menurunkan jasad CAKRA dan menangis memeluknya.
YIEN MEI dan DATUK MUARO datang.
YIEN MEI menghampiri jasad CAKRA dan memangis tersedu.
DATUK MUARO berdiri di dekat mayat CAKRA, menangis, kemudian
pergi memasuki rumah.
YIEN MEI memeluk BAJA, tapi BAJA masih diam membisu dengan
pandangan kosong.
FADE OUT
FADE IN
130. EXT. PUNCAK
BUKIT - PEMAKAMAN - PAGI
YIEN MEI, DATUK MUARO, KAMBARLEN
YIEN MEI, DATUK MUARO dan KAMBARLEN berdiri di samping makam
CAKRA yang dimakamkan berdampingan dengan makam FATIMAH.
CUT TO
131. EXT. PADANG
RUMPUT - PAGI
BAJA. YIEN MEI
BAJA masih terlihat depresi.
BAJA memandangi luasnya padang rumput yang luas.
BAJA :
“CAKRA, ayo lomba pacu jawi…” (CAKRA, ayo kita lomba balap
sapi…)
BAJA tertawa pelan.
Kemudian BAJA tertawa semakin keras.
BAJA menangis.
YIEN MEI datang.
Perlahan YIEN MEI menghampiri dari belakang dan menyentuh
lengan kananBAJA.
Dengan replek BAJA menepis tangan YIEN MEI, lalu menjengut
rambut dan menodongkan tombak ke leher YIEN MEI.
YIEN MEI :
(menjerit) “Akh… BAJA, ini aku MEI !?...”
BAJA memandang wajah MEI dengan pandangan yang asing.
YIEN MEI perlahan meraih dan mengambil tombak dari tangan
BAJA.
YIEN MEI membuang tombak ke tanah.
BAJA menangis.
YIEN MEI memeluk BAJA.
NARATOR :
[Amarah roh harimau dalam diri BAJA belumlah segera akan
redam. Darah CAKRA yang tumpah membasahi tubuhnya masuk menusuk jiwa BAJA}
FADE OUT
FADE IN
132. INT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SORE
YIEN MEI, KAMBARLEN, DATUK MUARO, DATUK GEDE BARAYA
KAMBARLEN :
“Baa ko, TU, lah bahari-hari BAJA inda namuah ngece ?”
(Bagaimana, TUK, sudah berhari-hari BAJA tidak bicara ?)
DATUK MUARO :
“Bado’a se mudah mudahan inyo cape sambuh” (Berdo’a saja, semoga dia cepat hilang
dukanya)
KAMBARLEN :
“Wa takui inyo gilo, TU” (Saya takut dia hilang ingatan,
TUK)
YIEN MEI diam termenung.
DATUK GEDE BARAYA muncul di muka pintu yang terbuka.
DATUK GEDE BARAYA :
“Assalamu’alaikum…”
YIEN MEI, KAMBARLEN dan DATUK MUARO menjawab salam.
YIEN MEI segera mempersilahkan DATUK GEDE BARAYA masuk.
DATUK GEDE BARAYA :
“Roh harimau yang dibunuhnya ada di dalam jiwa BAJA. Jika
amarah binatang buas belum reda, akan sulit untuk di mengerti. Butuh waktu
untuk meredamnya. Bersabar dan berdoalah dia akan baik-baik saja”
DATUK MUARO
“Terima kasih DATUK”
DATUK GEDE BARAYA
“Asalamualaikum”
DATUK GEDE BARAYA pun beranjak melangkah pergi.
YIEN MEI, KAMBARLEN dan DATUK MUARO menjawab salam dengan
suara lemah.
FADE OUT
FADE IN
133. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - PAGI
BAJA, YIEN MEI, KAMBARLEN, DATUK MUARO
BAJA bersiap-siap untuk pergi dengan kudanya.
YIEN MEI menghampiri.
YIEN MEI :
“Kamu mau kemana, BAJA ?”
BAJA diam tidak menjawab.
YIEN MEI :
(suara sedih) “Jangan tinggalkan aku lagi, BAJA…”
BAJA menarik tali kemudi kuda.
YIEN MEI menarik lengan BAJA.
FADE OUT
FADE IN
134. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - PAGI
YIEN MEI, BAJA
YIEN MEI
“BAJA, aku mohon. Aku sudah mengucapkan syahadat, aku mau
menikah denganmu…”
BAJA langsung naik ke pelana kuda dan pergi berlalu.
YIEN MEI :
(menangis memandangi kepergian BAJA) “BAJA, aku
mencintaimu…”
DATUK MUARO memandangi kepergian BAJA dari balik jendela
rumah.
KABARLEN memandangi kepergian BAJA dari depan pintu rumah.
FADE OUT
FADE IN
135. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMA DEPAN - PAGI
YIEN MEI
YIEN MEI berdiri di depan halaman rumah.
YIEN MEI sedang mengandung anak BAJA 5 bulan
TEKS : Muaro Paneh, Sumatra Barat, 1 september 1835
NARATOR :
[BAJA tidak mengetahui kepergiannya meninggalkan calon anak
dalam kandungan YIEN MEI]
CUT TO
136. EXT. LADANG
- PAGI
EXTABLISH
NARATOR :
[Musim kemarau baru saja datang, sepertinya hujan masih
sangat lama akan turun. Itu ditandai dengan tiupan angin kencang yang berdebu,
dan ilalang juga rerumputan yang sudah menguning]
CUT TO
137. EXT. SUNGAI
BATIMPO - PAGI
EXTABLISH
NARATOR :
[Disaat inilah masa-masa tersulit di Nagari Muaro Paneh dimulai.
Sungai yang bisanya mengalir melimpah sepanjang tahun, kini sudah mengering.
Satu persatu ternak DATUK MUARO pun mati]
FADE OUT
FADE IN
138. EXT. PAPUA
NUGINI - SIANG
BAJA, PENDUDUK PRIBUMI PAPUA NUGINI
TEKS : Pedalaman Papua Nugini, 10 Februari 1836
BAJA sedang shalat di depan sebuah rumah tradisional Papua
Nugini.
Setelah BAJA selesai shalat, beberapa orang penduduk lokal
berbusana seperti layaknya orang primitif bersama dengan seorang Pastur Bule
misionaris mendekati BAJA, dan mereka membawakan makanan yang dibungkus dengan
daun.
BAJA mengucapkan terimakasih dan memakan makanan tersebut.
NARATOR :
[Tidak diketahui apa yang BAJA cari dibelahan bumi yang
sangat jauh. Tapi dia melihat dimana masih ada manusia yang saling menghargai,
saling menyayangi, dan mencintai hidup. Mereka begitu menghormati perbedaan dan
tak peduli apa warna kulit dan Sang Penguasa yang disembahnya]
CUT TO
Di Rumah Gadang milik DATUK MUARO, di ruangan tengah YIEN
MEI melahirkan anak BAJA, anak lelaki yang mungil dan tampan.
DATUK MUARO memeluk cucunya dengan haru, lalu menjunjung
tinggi-tinggi cucunya itu.
DATUK MUARO :
“Aku beri nama anak ini, RAJA…”
CUT TO BACK
BAJA bersama Penduduk Pedalaman Papua Nugini sedang kerja
bakti membangun perkampungan.
FADE OUT
FADE IN
139. EXT. KAPAL
DAGANG INGGRIS - SIANG
BAJA, BEBERAPA ORANG PEDAGANG INGGRIS, BEBERAPA ORANG
PEKERJA KAPAL.
Kapal Dagang Inggris berlabuh di New Zeland.
BAJA dan BEBERAPA ORANG PEKERJA KAPAL membongkar muatan
kapal.
BEBERAPA ORANG PEDAGANG INGGRIS tampak hilir mudik
FADE OUT
FADE IN
140. EXT. CINA -
PENAMBANGAN EMAS TRADISIONAL - SIANG
BAJA, BEBERAPA ORANG PENAMBANG EMAS
BAJA sedang menambang emas di lubang-lubang tradisional di
Cina
Bebarapa penambang emas tradisional Cina nampak sibuk
menambang emas.
FADE OUT
FADE IN
141. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - SIANG
BABU, YIEN MEI, RAJA (PUTRA BAJA), AJUDAN BABU
BABU sedang mengajari RAJA berjalan.
YIEN MEI memperhatikan dari depan pintu.
AJUDAN BABU berdiri dekat rumah memperhatikan.
BABU :
(mengajak RAJA berbicara) “Papa, coba panggil papa…”
RAJA :
(terbata-bata) “Pa…pa…”
BABU :
(tersenyum) “pintar…” (lalu mengendong RAJA)
CUT TO
142. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN BELAKANG - SIANG
BABU, YIEN MEI
BABU sedang berbincang dengan YIEN MEI.
BABU :
“Dia bukan lelaki yang bertanggung jawab, meninggalkan
kalian seperti ini…”
YIEN MEI diam.
BABU :
“Tinggallah denganku di Padang… Kamu kan tahu, aku sudah
menganggap RAJA sebagai anakku sendiri. Sejak RAJA lahir tidak pernah lepas
perhatianku padanya… Apa yang kamu harapkan dari BAJA ? Peduli pun mungin
tidak…”
YIEN MEI :
“Aku akan menunggunya…”
BABU :
“Sampai kapan ?...”
YIEN MEI :
“Entahlah…”
BABU :
“Lihat aku, MEI… aku pun menunggumu…”
BABU kecewa dan meninggalkan YIEN MEI.
CUT TO
143. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SIANG
BABU, KAMBARLEN, DATUK MUARO, YIEN MEI, AJUDAN BABU
BABU :
“Apa, ambo mohon restu. Ambo ka diangke manjadi Katuo Lareh,
jadi ambo harus lah satuju tuak tanda tangan sure musyawarah katuo-katuo adat
sa nagari tuak malawan pambaronta…” (Bapak, saya memohon restu dari bapak, saya
akan diangkat menjadi Ketua Laras. Jadi saya haruslah mendapat menanda tangani surat persetujuan Para Ketua
Adat Nagari untuk melawan pemberontak…)
Sorot mata DATUK MUARO terlihat marah.
Suasana ruangan hening.
DATUK MUARO :
“Ambo inda paranah mambela Balando, Paderi, Kaum Adat jo
siapo pun. Ambo hanya inda satuju ado paparangan di nagari iko, titiak !” (Saya
tidak pernah membela Belanda, Paderi, Kaum Adat atau siapa pun. Saya hanya
tidak setuju ada peperangan di negri ini, titik !)
BABU :
“Mangkonyo ambo bajuang tuak basatu barantas pambarontak nan
mabue gaduah” (Makanya saya berjuang untuk bersatu berantas pemberontak yang
membuat onar)
DATUK MUARO :
“Apo pun nan waang kecean, kalau waang tanda tangan barati
waang mangajak parang. Sadarlah waang ka baparang jo urang awa. Cubo waang
cigo, adiak waang CAKRA mati !” (Apa pun yang kamu katakan, kalau kamu tanda
tangan berarti kamu mengajak perang. Sadar tidak kamu akan berperang melawan
Orang Minang sendiri. Coba kamu lihat, adik kamu CAKRA mati !)
DATUK MUARO terbatuk dan menangis.
YIEN MEI mendekap DATUK MUARO dan ikut menangis.
KAMBARLEN mendengarkan percakapan.
BABU tidak terpengaruh keadaan.
BABU :
“Oleh karana tu Pa, makasud ambo baik. Ambo ka basatu
saluruah Pamuko Adat, supayo jaan ado urang awa jo kaluarga nan mambantu
pambaronta. Ambo masih mambela kaluarga Pa, ambo inda paranah mangece kalau
urang nan sadangdi cari jo manghebohkan nan mambunuah limo urang panglima
parang di Kampuang Malayu adalah BAJA adiak den surang. Ambo inda namuah urang
awa jadi pambaronta seperti adiak den nan salah jalan…” (Oleh karena itu, Pak,
maksud saya baik. Saya ingin bersatukan seluruh Pemuka Adat, supaya jangan ada
Orang Minang atau keluarga yang membantu pemberontak. Saya masih membela
keluarga, Pak, buktinya saya tidak pernah melaporkan kalau orang yang sangat
dicari dan menghebohkan karena membunuh lima orang panglima perang Belanda di
Kampung Melayu adalah adik saya sendiri, BAJA. Saya hanya tidak ingin
keluarga-keluarga lain saudaranya ada lagi yang menjadi pemberontak sepoerti
adik saya yang salah jalan...)
AJUDAN BABU tampak kaget mendengar ucapan BABU tentang BAJA.
DATUK MUARO :
(sangat marah) “Adiak waang adalah pahlawan kaluarga ! Jaan
barani ngece baitu waang !!” (Adikmu adalah pahlawan keluarga ! Jangan
berani-beraninya kamu bicara seperti itu !!)
DATUK MUARO kembali batuk dan langsung meninggalkan ruangan.
YIEN MEI membantu DATUK MUARO berjalan ke kamar.
FADE OUT
FADE IN
144. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - SIANG
BABU, RAJA, YIEN MEI
BABU dan RAJA sedang bermain di halaman rumah gadang.
NARATOR :
[Bulan demi bulan berlalu, dan BABU telah menjadi pejabat
penting di Padang. RAJA semakin besar dan dia begitu dekat dengan BABU. Hampir
setiap bulan BABU berkunjung ke Muaro Paneh untuk bertemu RAJA. Bahkan RAJA
sudah memanggilnya bapak. Tapi DATUK MUARO tetap membisu terhadap BABU]
CUT TO
145. EXT. LADANG
- DIBAWAH POHON RINDANG - SORE
BABU, YIEN MEI, RAJA
BABU dan YIEN MEI duduk berdampingan di batang pohon yang
rendah.
BABU memangku RAJA yang terlelap tidur.
BABU :
“Lihatlah, MEI, RAJA sudah menganggap aku sebagai ayahnya
sendiri”
YIEN MEI :
“Iya, terima kasih banyak kamu telah memperhatikan RAJA
selama ini”
BABU :
“Aku ingin kamu menjadi istriku MEI”
YIEN MEI tidak terlalu terkejut dan hanya diam.
BABU :
“Kamu masih mau bilang kalau kamu masih menunggu BAJA ?”
YIEN MEI tetap diam.
BABU :
“Mungkin BAJA tidak akan pernah kembali…” (menoleh pada YIEN
MEI) “Coba lihat dirimu, seorang wanita beranak tanpa seorang suami, juga tanpa
pernikahan pula... Apa kamu kira RAJA tidak butuh ayah ? Apa kamu kira RAJA
tidak butuh pendidikan nantinya ? Jika hanya di sini, RAJA kelak tidak akan
menjadi apa-apa…” (diam sejenak dan sejenak menatap langit, lalu kembali
menoleh YIEN MEI) “Coba katakan, apa kurangnya cintaku padamu, MEI ?... Apa
bedanya cintaku dengan cinta BAJA ? Harus kah aku bertanya seperti itu ?...”
YIEN MEI :
“Aku tidak bisa meninggalkan DATUK sendiri di sini… Siapa
yang akan merawatnya ?”
BABU :
(sedikit senang) “Kita akan menjenguk Bapak setiap minggu,
dan aku akan mengirim dua orang pesuruh untuk merawat Bapak dan membantu mamak
di ladang”
YIEN MEI diam sejenak dan terlihat berpikir.
YIEN MEI :
“Baiklan, aku mau menikah denganmu, tapi dengan satu
syarat…” BABU :
“Katakan…”
YIEN MEI :
“Jika kamu tidak bisa memenuhi syarat tersebut, kamu tidak
akan pernah bisa menikahiku…”
BABU :
“Baik, katakan saja…”
YIEN MEI :
“Jika suatu hari BAJA kembali, izinkan dan relakan aku
kembali padanya…”
BABU terlihat berpikir sejenak.
YIEN MEI menatap BABU menunggu jawaban.
BABU :
“Baik…Baiklah…” (tersenyum penuh kemenangan)
YIEN MEI memandang kearah hutan, dan dalam hati berkata
“Maafkan aku BAJA…”
FADE OUT
FADE IN
146. GUNUNG
TALANG - JALAN BESAR - SIANG
BABU, KAMBARLEN, YIEN MEI, RAJA, DUA ORANG AJUDAN
BABU, YIEN MEI, RAJA dan KAMBARLEN dalam perjalanan menuju
Kota Padang dengan bendi.
DUA ORANG AJUDAN menunggang kuda di belakang bendi.
FADE OUT
FADE IN
147. EXT.
BENTENG BONJOL - SIANG
EXTABLISH
{ Kamera menyorot BENTENG BONJOL yang sudah porak poranda }
TEKS : Benteng Bonjol, Alahan Panjang, 20 Agustus 1837.
NARATOR :
[BENTENG BONJOL sudah ditaklukan oleh Pasukan Belanda dan
sekutunya. Tidak ada kemenangan apa pun di sana. Yang ada hanya tetesan darah
dari ribuan orang yang tewas, ribuan nyawa yang mati sia-sia meninggalkan duka,
meninggalkan luka sejarah kelam di Tanah Minang]
FADE OUT
FADE IN
148. EXT. LADANG
DATUK MUARO - SIANG
EXTABLISH
NARATOR :
[Musim kemarau telah berlalu, daun-daun hijau pun kembali
tumbuh; Angin bertiup tidak lagi berdebu, dan pandangan mata begitu teduh
memandang padang rumput]
CUT TO
149. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - LADANG DEPAN RUMAH - SIANG
KAMBARLEN, SUWITO (ORANG JAWA PESURUH), SUARTI (ISTRI
SUWITO)
KAMBARLEN dan SUWITO sedang mencangkul di kebun kecil depan
rumah.
SUARTI menjemur pakaian di samping rumah.
FADE OUT
FADE IN
150. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SORE
KAMBARLEN, TABIB, DATUK MUARO, SUARTI
DATUK MUARO sedang diperiksa oleh TABIB.
SUARTI membawakan air hangat.
CUT TO
151. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SORE
KAMBARLEN, TABIB
KAMBARLEN :
“Baa kondisinyo, BIB ?” (Bagaimana kondisinya, BIB ?)
TABIB :
“Ado bare pikirannyo, tu nan mambue ATU taruih manurun
kasehatannyo” (Beban pikirannya terlihat begitu berat, itu yang membuat DATUK
terus menurun kesehatannya)
KAMBARLEN :
“Inyo taruih bapiki BAJA” (Dia terus memikirkan BAJA)
TABIB mengangguk-angguk kecil.
KAMBARLEN :
“Baa Apa kini inda bisa malie ?” (Kenapa sekarang Bapak
tidak bisa melihat ?)
TABIB :
“Inyo lah gae, pastilah ado masalah jo panglieannyo. Tapi bare
pikirannyo mampaburuak matonyo” (Dia sudah tua, pasti ada masalah dengan
penglihatannya. Tapi beban pikirannya memperburuk penglihatannya)
FADE OUT
FADE IN
152. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN DEPAN - SIANG
BAJA, KAMBARLEN, SUWITO, SUARTI, DATUK MUARO
KAMBARLEN dan SUWITO sedang berkebun di depan rumah.
{Kamera menyorot hembusan angin yang kencang menerpa
dedaunan}
KAMBARLEN dan SUWITO menghentikan aktivitasnya, dan
memandang jauh ke depan ujung padang rumput.
Di kejauhan tampak samar-samar segerombolan sapi menuju ke
arah rumah.
KAMBARLEN terus memandangi segerombolan sapi tersebut.
SUARTI memandangi dari samping rumah.
Semakin lama gerombolan sapi itu semakin jelas.
Di belakang segerombolan sapi yang berjumlah kurang lebih
seratus ekor, terdapat sosok lelaki kekar di atas kuda dengan rambut yang
panjang.
Sosok itu adalah BAJA.
KAMBARLEN segera berlari mendekati BAJA.
BAJA turun dari KUDA.
KAMBARLEN memeluk erat BAJA.
SUWITO langsung merapikan sapi-sapi yang dibawa oleh BAJA.
CUT TO
Didalam rumah DATUK MUARO yang sedang duduk di kursi seperti
mendapat firasat akan kedatangan BAJA.
Walau matanya tak lagi melihat, DATUK MUARO seolah mencium
bau tubuh BAJA.
DATUK MUARO tidak bisa bangkit, hanya menunggu di kursi dan
ingin tahu siapa yang datang.
CUT TO BACK
KAMBARLEN :
(memperkenalkan SUWITO) “Iko SUWITO, inyo nan babantu di
siko”
BAJA menjabat tangan SUWITO sambil tersenyum.
BAJA dan KAMBARLEN bergerak menuju ke pintu rumah.
CUT TO
153. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SIANG
BAJA, DATUK MUARO, KAMBARLEN
BAJA berdiri di ambang pintu memandangi kondisi DATUK MUARO
yang memprihatinkan.
Mata BAJA berlinang air mata.
DATUK MUARO merasakan BAJA sudah berada di hadapannya.
DATUK MUARO :
(memanggil dengan nada rendah) “BAJA…”
BAJA :
“ATU…”
BAJA mendekat ke arah DATUK MUARO dan memeluk erat.
DATUK MUARO menangis sambil memeluk BAJA.
BAJA menangis.
KAMBARLEN turut haru dan menangis.
DATUK MUARO :
“BAJA ana ambo” (BAJA anakku)
BAJA :
“Iyo Pa, ambo lah pulang” (Iya Pak, aku sudah pulang)
DATUK MUARO :
“Ambo tau wa pasti pulang” (Aku tau kamu pasti pulang)
BAJA
“Iyo, Pa” (Iya, Pak…)
DATUK MUARO meraba-raba wajah BAJA.
BAJA terlihat semakin sedih karena baru tahu DATUK MUARO
tidak bisa melihat.
Setelah melepaskan pelukan dari DATUK MUARO, BAJA
menoleh-noleh mencari sosok lain yang tidak ada.
BAJA :
(lirih) “Di ma MEI, Pa ?”
DATUK MUARO :
(menghela nafas) “Nanti caritonyo…”
FADE OUT
FADE IN
154. INT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SORE
KAMBARLEN, DATUK MUARO, BAJA, SUARTI
KAMBARLEN, DATUK MUARO dan BAJA sedang ngobrol.
SUARTI membawakan kopi dan teh telur.
BAJA :
“Kalau MEI kama nyo ?” (Kalau MEI kemana ?)
KAMBARLEN dan DATUK MUARO tidak segera menjawab.
BAJA :
“Pulang ka Padang ?” (Pulang ke Padang ?)
KAMBARLEN :
“Inyo lah ba laki” (Dia sudah mempunyai suami)
BAJA :
“O…ranca… Dima nyo tingga kini ?” (O…baguslah... Dimana dia
tinggal sekarang ?)
KAMBARLEN :
“Lakinyo BABU” (Suaminya BABU)
BAJA terkejut tetapi mencoba menyebunyikan di hadapan
KAMBARLEN dan DATUK MUARO.
DATUK MUARO :
“Walaupun BABU kini lah manjadi urang gadang ta pandang,
inda lah tinggi dahan kapaguno, randah rumpui ka bapakai” (walaupun BABU
sekarang sudah menjadi orang besar dan terpandang, tapi tinggi dahan belum
tentu berguna, rendahnya rumput bermanfaat)
BAJA :
“Ranca jo burua inyo sana awa, Pa” (Bagus dan jelek dia
tetap keluarga kita, Pak)
DATUK MUARO :
“Aa nan ranca dari inyo, inda ado !” (Apa yang bagus dari
dia, tidak ada !)
BAJA memandang DATUK MUARO sambil tersenyum kecil.
DATUK MUARO :
“BABU marampas MEI dari wa BAJA” (BABU telah merampas MEI
dari kamu BAJA)
BAJA :
“BABU lah saja dulu biaso mangambil kalinci awa, buruang
awa. Inda baa do” (BABU sejak dulu sudah biasa mengambil kelinci milik saya,
burung saya, tidak apa apa)
DATUK MUARO :
“Iyo, tapi inyo mangambil ana wa juo” (Iya, tapi dia
mengambil anakmu juga)
BAJA :
(kaget dan bingung) “Ana ?...” (Anak ?...)
KAMBARLEN :
“Iyo. Satalah wa paih, MEI langsuang mangandung ana wa… Lah
gadang kini mah… Ranca bana, mukonyo waang bana” (Iya. Setelah kamu pergi, MEI
mengandung anakmu… Sudah besar putramu sekarang… Tampan wajahnya, dan mirip
sekali denganmu)
BAJA terlihat kikuk dan bingung, tidak percaya.
BAJA :
(pelan) “Sia namonyo ?” (Siapa namanya ?)
KAMBARLEN :
“Namonyo RAJA… ATU nan mangagih namo” (namanya RAJA… ATU
yang memberi nama)
BAJA memandang sejenak pada DATUK MUARO.
BAJA kembali terdiam. Perasaannya bercampur aduk antara
bahagia, kaget dan bingung.
FADE OUT
FADE IN
155. EXT. GUBUK
DATUK GEDE BARAYA - DEPAN GUBUK - SORE
BAJA, DATUK GEDE BARAYA
BAJA dan DATUK GEDE BARAYA sedang berbincang di depan gubuk.
DATUK GEDE BARAYA :
“Aku tahu kamu akan kembali, karena darahmu ada di sini”
BAJA :
“Iya, TUK”
BAJA mengeluarkan sebuah kalung berukir terbuat dari perak.
BAJA memberikan kalung tersebut pada DATUK GEDE BARAYA.
BAJA :
“Ini kalung pemberian seorang pemimpin Suku Dani di
Pedalaman Tanah Papua. Konon jika kalung ini terus berpindah tangan kepada
orang-orang yang mencintai kedamaian, menghargai perbedaan, dan menjunjung
tinggi cinta kasih, maka kedamaian dan kemakmuran akan terus terjaga”
DATUK GEDE BARAYA menggengam kalung tersebut dengan kuat.
DATUK GEDE BARAYA :
“Terima kasih BAJA”
CUT TO
156. EXT. GUBUK
DATUK GEDE BARAYA - DEPAN GUBUK - SORE
BAJA, DATUK GEDE BARAYA
BAJA memainkan saluang.
DATUK GEDE BARAYA menembangkan Syair-Syair Minang.
FADE OUT
FADE IN
157. EXT. RUMAH
GADANG MILIK DATUK MUARO - HALAMAN BELAKANG - PAGI
BAJA, KAMBARLEN, SUWITO
BAJA mulai membangun kembali tempat kandang ternaknya yang
dahulu habis di musim kemarau.
BAJA, KAMBARLEN dan SUWITO tampak sibuk mengatur ternak dan
membangun kandang baru yang luas.
FADE OUT
FADE IN
158. EXT. LADANG
- SIANG
BAJA, KAMBARLEN, SUWITO, DATUK MUARO, SUARTI
BAJA menanam dan mengolah kembali ladangnya yang subur.
BAJA, KAMBARLEN dan SUWITO sedang membajak ladang.
SUARTI membawakan makanan ke ladang.
DATUK MUARO berdiri di ambang pintu rumah, merasakan udara
baru dari ladang dan peternakannya.
CUT TO
159. EXT. LADANG
- SIANG
BAJA, KAMBARLEN
BAJA dan KAMBARLEN sedang beristirahat di pondok ladang.
BAJA :
“Ma, wa bisua rancana paih ka Padang” (Paman, saya besok
rencana pergi ke padang)
KAMBARLEN :
“Ka manga ? ka basogo BABU ?” (Mau apa ? Mau bertemu BABU ?)
BAJA :
“Iyo”
KAMBARLEN :
“Ka manjampui RAJA” (Mau menjemput RAJA ?)
BAJA :
“Inda. Wa ka basogo se ka RAJA. Wa inda namuah marusak
kaluarga inyo… Inyo lah bahagia” (Tidak, saya hanya ingin bertemu RAJA. Saya
tidak mau merusak keluarga mereka… Mereka sudah bahagia)
KAMBARLEN :
“Bia ambo anta besuak” (Biar saya antar besok)
BAJA :
“Inda paralu, Ma, wa paih surang” (Tidak perlu,Paman, saya
berangkat sendiri)
FADE OUT
FADE IN
160. RUMAH BAJA
- HALAMAN DEPAN - SIANG
BAJA, YIEN MEI, RAJA, PENGASUH
BAJA berdiri memandangi RAJA yang sedang bermain di halaman
rumah.
PENGASUH memperhatikan tidak jauh dari RAJA.
BAJA perlahan mendekat dan memasuki halaman rumah.
BAJA memandangi wajah RAJA.
RAJA menengok ke arah BAJA.
BAJA dan RAJA saling berpandangan.
RAJA :
(menyapa BAJA) “paman mencari papa yah ?”
BAJA :
(tidak lepas memandang RAJA) “Iya, papa kamu ada ?”
RAJA menggelengkan kepala
BAJA :
(membungkuk memandangi RAJA) “Kamu pasti RAJA ?”
RAJA :
“Iya paman … paman kok rambutnya panjang ?”
BAJA tersenyum.
INSERT. YIEN MEI di dapur mendengar sayup-sayup RAJA
berbicara dengan seseorang. YIEN MEI melihat BAJA dan RAJA sedang berbincang.
YIEN MEI terlihat kaget.
BAJA :
(pamit kepada RAJA) “Sampaikan salam paman buat papamu yah”
RAJA :
“Iya paman”
BAJA membalikan badan dan perlahan melangkah.
RAJA :
(memanggil)
“paman …”
BAJA menoleh.
RAJA :
“Dari paman siapa ?”
BAJA :
(tersenyum) “paman BAJA”
RAJA mengangguk dan tersenyum.
YIEN MEI keluar dari dalam rumah.
BAJA dan YIEN MEI saling berpandangan.
YIEN MEI perlahan mendekati BAJA.
RAJA mendekat ke arah YIEN MEI.
YIEN MEI :
(lirih) “Kamu masih
hidup…?”
BAJA hanya memandangi YIEN MEI.
BAJA tersenyum.
BAJA :
“Apa kabar, MEI ?”
YIEN MEI :
(lirih) “Ba… Baik…”
BAJA :
(memegang kepala RAJA) “Benarkan ini ?”
YIEN MEI mengangguk.
Kedua mata YIEN MEI berkaca-kaca.
BAJA :
“Aku permisi pulang”
BAJA perlahan berlalu dan pergi meninggalkan rumah BABU.
YIEN MEI menangis memandangi kepergian BAJA.
RAJA :
“Mama kenapa menangis ?”
YIEN MEI :
(menggendong RAJA) “Tidak apa-apa sayang…”
FADE OUT
FADE IN
161. INT. RUMAH
BABU - KAMAR - MALAM
BABU, YIEN MEI
BABU dan MEI sedang di meja makan dan baru saja selesai
makan malam.
YIEN MEI :
“BAJA sudah pulang”
BABU tertegun sejenak.
YIEN MEI :
“Kamu pasti mengarang cerita pada ajudanmu, kalau BAJA sudah
meninggal”
BABU :
“kapan kamu bertemu BAJA ?”
YIEN MEI :
“Tadi sore BAJA ke sini, menemui RAJA”
BABU bergerak berdiri hendak meninggalkan meja makan.
YIEN MEI :
(lirih) “BABU…”
BABU diam tak bergerak.
YIEN MEI :
(memandang ke arah
BABU)“Kamu sudah berjanji padaku”
BABU pun langkah meninggalkan meja makan ke ruangan
kerjanya.
CUT TO
162. EXT. RUMAH
BABU - HALAMAN BELAKANG - SIANG
BABU, AJUDAN
BABU :
(setengah berbisik) “Tangkap BAJA ! Bawa beberapa orang…”
(berbisik) “…….”
AJUDAN mendengarkan dengan seksama apa yang dibisikan BABU.
BABU :
(setengah berbisik) “Jangan buat dia terluka, cukup tangkap
saja… Bawa diam-diam ke Batavia, lalu penjarakan di sana… 20 tahun sudah cukup untuk seorang pembunuh
pasukan sekutu…”
AJUDAN :
“Baik, Tuan… ”
BABU :
“Ingat, jangan sampai terluka !”
AJUDAN meninggalkan halaman belakang rumah.
CUT TO
163. EXT.
INDARUNG PADANG - JALAN BESAR - SORE
AJUDAN, 3 PRAJURIT
AJUDAN dan 3 PRAJURIT menunggang kuda dengan cepat.
CUT TO
164. EXT. GUNUNG
TALANG - JALAN DI TEPI TEBING TERJAL - SORE
BAJA
BAJA dengan mengemudi bendi berjalan perlahan di antara
jalan terjal bebatuan.
CUT TO
165. EXT.
INDARUNG PADANG - JALAN BESAR - SORE
BAJA, AJUDAN, 3 PRAJURIT
Empat kuda yang di tunggangi oleh AJUDAN dan 3 PRAJURIT
mengejar bendi yang dikemudikan BAJA.
AJUDAN dan 3 PRAJURIT mendekat ke arah bendi.
AJUDAN dan 3 PRAJURIT menodongkan senapan ke arah BAJA.
Tatapan wajah BAJA tampak siaga.
AJUDAN :
“Menyerahlah BAJA ! Kau ditangkap atas pembunuhan 5 Prajurit
Sekutu Belanda !!”
CU. Tangan BAJA siap menggengam tombak kecil dari balik
jubahnya.
VO. BAJA
“Jika aku cabut kembali tombak ini, maka pertumpahan darah
tidak akan pernah berakhir !!...”
BAJA melepaskan genggaman tangannya dari tombak dan
mengurungkan niatnya untuk meyerang.
BAJA perlahan turun dari bendi.
AJUDAN :
“Angkat tanganmu !!”
BAJA menuruti perintah AJUDAN dan mengangkat tangannya di
atas kepala.
Tiba-tiba seorang PRAJURIT 1 menembak BAJA dan tepat terkena
di samping dada kirinya.
BAJA yang berdiri di ujung tebing langsung jatuh terjungkal
ke bawah tebing.
AJUDAN mendorong tubuh PRAJURIT 1 yang menembak.
AJUDAN :
“Aku bilang jangan menembak !!”
AJUDAN lalu bergegas ke ujung tebing melihat tubuh BAJA yang
terlentang di dasar tebing.
Kemudian AJUDAN dan 3 PRAJURIT segera pergi.
FADE OUT
FADE IN
166. INT. RUMAH
BABU - GUDANG - SORE
BABU, AJUDAN, YIEN MEI
BABU :
(menjambak baju AJUDAN) “Dasar bodoh !!”
AJUDAN :
(ketakutan) “Saya tidak tahu tuanku, kalau Para Prajurit
sudah mendapat instruksi langsung dari Jendral VAN BOSCH untuk menembak mati
para sisa pemberontak”
BABU terduduk bersandar di dinding sambil menangis.
BABU :
(menangis) “Oh, BAJA adikku... Huhu uhk, maafkan aku..uu…”
AJUDAN hanya berdiri menunduk.
INSERT. YIEN MEI mengintip dari sudut dinding dan
mendengarkan semua percakapan BABU dan BAJA. YIEN MEI berlinang air mata. YIEN
MEI berlari ke arah dalam rumah.
CUT TO
167. INT. RUMAH
BABU - KAMAR - SORE
YIEN MEI
YIEN MEI terkulai lemas dan bersimpuh di lantai sambil
menangis tersedu.
YIEN MEI bangkit dan bergerak menuju lemari pakaian.
YIEN MEI membuka pintu lemari.
YIEN MEI membuka laci yang berada dalam lemari.
YIEN MEI mengambil sepucuk pistol milik BABU.
CUT TO
168. INT. RUMAH
BABU - GUDANG - SORE
BABU, AJUDAN, YIEN MEI
YIEN MEI keluar kamar menuju GUDANG dimana BABU dan AJUDAN
berada.
YIEN MEI masuk ke dalam GUDANG dan langsung mengarahkan
pistol pada BABU.
BABU terhenyak kaget.
AJUDAN kaget dan tegang mematung.
YIEN MEI :
(geram dan marah) “Kamu benar-benar brengsek !!..., tidak
punya perasaan !!...”
BABU berusaha berdiri dengan mata waspada dan ketakutan.
BABU :
(memohon) “MEI…MEI…tenang dulu…biar aku jelaskan…”
YIEN MEI :
(lebih geram dan marah) “Tidak !... Kamu busuk !!...”
AJUDAN yang sejak tadi diam mematung, diam-diam menambil
pistolnya dari balik bajunya… Ujung mata YIEN MEI melihat gerakan AJUDAN, lalu
bersamaan dengan tangan AJUDAN mengeluarkan pistolnya, YIEN MEI pun bergerak
mengarahkan pistolnya dan menembak AJUDAN pada dadanya. Bersamaan dengan peluru
menembus dada AJUDAN, pistol di tangan AJUDAN juga meletus mengarah pada BABU,
tepat mengenai kepala BABU. AJUDAN dan BABU robah… Seketika sekujur tubuh YIEN
MEI gemetar ketakutan… Namun kemudian YIEN MEI segera menenangkan diri.
Lekas-lekas pistol di tangannya ia bersihkan dengan bajunya, kemudian melangkah
ke arah BABU, dan dengan hati-hati ia letakkan pistol pada telapak tangan kanan
BABU, lalu ia berdiri mematung…
FADE OUT
FADE IN
169. EXT.
INDARUNG PADANG - DASAR TEBING - MALAM
BAJA
Tubuh BAJA yang berlumur darah karena luka-luka terlihat
tergeletak di dasar tebing.
Tubuh BAJA terlihat bergerak dan kemudian kedua mata BAJA
mulai terbuka.
Sambil menahan sakit BAJA berusaha duduk.
Kemudian BAJA berusaha untuk berdiri dengan telapak tangan
kanannya memegangi dada kirinya yang tertembak.
Kemudian BAJA dengan terhuyung dan terseok-seok berjalan
menyusuri jalan setapak.
{Kamera menyorot dari arah belakang BAJA yang sedang
berjalan hingga menghilang}
FADE OUT
FADE IN
170. INT. RUMAH
BABU - RUANG DEPAN - PAGI
YIEN MEI, RAJA, PEREMPUAN PARUH BAYA PENGASUH RAJA, DUA
LELAKI PENJAGA RUMAH
YIEN MEI sedang merapikan baju RAJA didampingi Pengasuhnya.
Dua Lelaki Penjaga Rumah siap-siap membawa 2 koper besar.
RAJA :
(lugu) “Mamah, kita mau kemana ?”
YIEN MEI :
(senyum kecil) “Kita akan pergi jauh, BAJA…ke Batavia”
YIEN MEI lalu menuntun RAJA dan melangkah keluar rumah yang
diikuti Pengasuhnya yang bersedih menitikkan air mata. Dua Lelaki Penjaga Rumah
mengikuti dari belakang.
FADE OUT
FADE IN
171. EXT.
HALAMAN RUMAH BABU - PAGI
YIEN MEI, RAJA, PENGASUH RAJA, DUA LELAKI PENJAGA RUMAH,
BEBERAPA TENTARA BELANDA DAN TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA
YIEN MEI, RAJA, PENGASUH dan DUA LELAKI PENJAGA RUMAH
terlihat keluar dari rumah.
Di halaman rumah telah menunggu Dua Buah Kendaraan, dengan
beberapa TENTARA BELANDA serta beberapa TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA.
Seorang TENTARA PRIBUMI SEKUTU BELANDA segera membukakan
pintu kendaraan yang ada di depan.
PENGASUH memeluk YIEN MEI dengan terisak-isak juga menciumi
RAJA.
YIEN MEI dan RAJA memasuki kendaraan.
Beberapa TENTARA BELANDA pun memasuki kendaraan yang di
belakangnya.
PENGASUH dan DUA LELAKI PENJAGA RUMAH melambaikan tangan
sesaat dua kendaraan berangkat.
NARATOR :
[Kematian BABU dan AJUDANnya ditetapkan sebagai TRAGEDI
SALING TEMBAK DI DALAM GUDANG dengan bukti-bukti yang meyakinkan. YIEN MEI
hanya dijadikan saksi saja. Karena peristiwa itu, YIEN MEI meminta kepada PIHAK
BELANDA agar diri dan anaknya pulang ke
BATAVIA, dimana masih ada
keluarga YIEN MEI di sana… YIEN MEI merasa tidak bisa lagi tetap tinggal
di Padang atau ke Muaro Paneh kepada DATUK MUARO. YIEN MEI merasa tidak pantas
berada di kedua negeri itu, terlebih BAJA yang dicintainya sudah tiada…]
FADE OUT
FADE IN
172. EXT.
PELABUHAN EMMAHAVEN (TELUK BAYUR) : SIANG
YIEN MEI, RAJA
ESTABLISH PELABUHAN EMMAHAVEN (TELUK BAYUR)
YIEN MEI dan RAJA kecil berdiri menghadap dermaga pelabuhan,
menunggu kapal laut dan siap berangkat ke batavia
FADE OUT
FADE IN
173. INT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - RUANG DEPAN - SIANG
DATUK MUARO, KAMBARLEN,
DATUK MUARO duduk di kursi dekat jendela menghadap ke luar.
DATUK MUARO terlihat sedih dan matanya yang hampir buta
berkaca-kaca.
SUARTI membawa segelas teh manis besar kepada DATUK MUARO.
SUARTI meletakkan gelas teh manis di jendela.
SUARTI :
(menyentuh tangan DATUK MUARO) “Ini teh manisnya, DATUK…”
(membimbing tangan DATUK ke arah gelas di hadapan beliau)
DATUK MUARO :
(lirih) “Terima kasih ya, TI… “ (kembali diam)
SUARTI pun meninggalkan DATUK MUARO karena ia tahu DATUK
MUARO sedang bersedih dan tidak ingin diganggu.
KAMBARLEN muncul dari kamarnya. KAMBARLEN berdiri sejenak
dan memandang pada DATUK MUARO.
DATUK MUARO tahu kalau KAMBARLEN ada.
DATUK MUARO :
“LEN…, lai bana kaba tu?”(LEN…, apa benar kabar itu ?)
KAMBARLEN tidak segera menjawab. Ia menghampiri DATUK MUARO.
KAMBARLEN :
“iyo, TUK…” (Benar, TUK…)
DATUK MUARO :
(menghela nafas) “baa kaba BAJA?” (Bagaimana kabar BAJA?)
KAMBARLEN :
(menghela nafas) Kabanyo, BAJA tabunuah juo… tapi antah dima
inyo kini” (Kabar yang ada, BAJA terbunuh juga…entah dimana)
DATUK MUARO menunduk dan terpukul jiwanya…
FADE OUT
FADE IN
174. EXT. MUARO
PANEH - SIANG
EXTABLISH
EXTABLISH nagari muaro paneh yang hijau dan sejuk
TEXT : LIMA TAHUN KEMUDIAN
CUT TO
175. EXT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - SIANG
BAJA
BAJA menunggang kuda memasuki halaman rumah.
BAJA perlahan turun dari pelana kuda.
BAJA memandangi rumah gadang dan halaman sekitar.
CUT TO
176. INT. RUMAH
GADANG DATUK MUARO - RUANG TENGAH - SIANG
BAJA, KAMBARLEN, FITRIYANI (BAYI BERUMUR 8 BULAN ANAK
KAMBARLEN), SAODAH (ISTRI KAMBARLEN)
BAJA memasuki ruang tengah.
KAMBARLEN sedang menggendong FITRIYANI.
SAODAH memberi makan FITRIANI.
KAMBARLEN menoleh kearah BAJA.
BAJA :
“Asalamualaikum”
KAMBARLEN :
(kaget, lalu memberikan FITRIANI ke SAODAH) “waalaikum
salam… BAJA”
BAJA dan KAMBARLEN saling berpelukan.
CU. Mata KAMBARLEN berderai air mata, haru, gembira.
CU. Mata BAJA berderai air mata, haru, gembira.
KAMBARLEN :
“Waang pulang BAJA, masiah idui” (“kamu pulang BAJA, kamu
masih hidup”)
BAJA mengangguk.
KAMBARLEN :
(menunjuk FITRIYANI) “iko ana ama” (“ini anak ku”)
BAJA :
“ondeh cantiknyo” (“aduh cantiknya”)
KAMBARLEN :
“istri ambio, SAODAH” (“istriku, SAODAH”)
BAJA tersenyum ke arah SAODAH, dan SAODAH membalas senyum.
BAJA :
“dima apa?” (“dimana bapak?”)
KAMBARLEN terdiam
CUT TO
177. EXT.
PEMAKAMAN DATUK MUARO - SIANG
BAJA, KAMBARLEN
BAJA duduk bersimpu di pusara DATUK MUARO.
KAMBARLEN berdiri disamping BAJA.
CU. Mata baja berderai air mata
VO. BAJA :
“apa, maafkan ambo… bukan makasud ambo paih tinggalkan apa
salamo iko, tinggalkan muaro paneh. Moga sajo apa paih dengan tanang jo masih
tasanyum, karana paihnyo ambo tidak lain adalah untua manjauah dari bapatumpah
darah” (bapak, maafkan saya… tidak bermaksud saya tinggalkan bapak selama ini,
tinggalkan nagari muaro paneh. Semoga saja bapak pergi dengan tenang dan masih
tersenyum, karena kepergian saya selama ini tidak lain adalah untuk menghindari
pertumpahan darah lagi)
CUT TO
178. EXT. LADANG
- SIANG
BAJA, KAMBARLEN
BAJA dan KAMBARLEN sedang duduk dibatang kayu rendah
menghadap ladang.
KAMBARLEN :
“DATUK GEDE BARAYA menghilang entah kama. Banya ana urang
ngece inyo basantap baruang gadang. Tapi inda paranah adao jasadnyo” (DATUK
GEDE BARAYA menghilang entah kemana. Banyak orang bilang, DATUK dimakan
beruang, tapi jasadnya tidak ppernah ditemukan)
BAJA tampak mendengarkan KAMBARLEN dengan seksama.
BAJA :
“Ambo inda tau jo baru tau kini kalau BABU paih sa tragis
tu” (“saya tidak tahu dan baru tahu kalau BABU pergi dengan setragis itu”)
KAMBARLEN :
“Tu lah suratan BU” (“itu sudah suratan BU”)
Suasana hening sejenak, kamera menyorot wajah BAJA yang
sedih.
KAMBARLEN :
“japuilah MEI jo RAJA di batavia JA” (“jemputlah MEI dan
RAJA di batavia JA”)
CUT TO
179. EXT. TEPI
BUKIT - SORE
BAJA
BAJA duduk didepan pohon suren yang sudah membesar.
BAJA memandangi pohon suren sambil tersenyum.
DISSOLVE TO :
BAJA dan YIEN MEI sedang menanam pohon kecil
BAJA :
(menanam pohon suren yang masih kecil) “tahu kah kamu MEI,
dalam adat tradisi minang jika seseorang lelaki yang sudah dewasa dan dia sudah
menemukan seorang perempuan pilihan hatinya, lelaki tersebut diharuskan batanam
kayu kareh”
YIEN MEI :
“artinya apa?”
BAJA :
“menanam pohon keras. Nanti suatu hari pohon ini akan tumbuh
besar dan bisa digunakan untuk membangun rumah anak anak keturunan lelaki
tersebut”
YIEN MEI tersenyum.
BAJA terjaga dari lamunannya, kemudian bangkit dan pergi
perlahan meninggalkan tepi bukit.
FADE OUT
FADE IN
180. EXT. DIATAS
KAPAL LAUT - SORE
BAJA
BAJA diatas kapal
laut berdiri dianjungan, memandangi luasnya samudra dan indahnya matahari sore
yang hampir tenggelam diujung lautan.
FADE OUT
FADE IN
181. EXT.
PELABUHAN TANJUNG PRIOK BATAVIA - SIANG
BAJA, PRAJURIT I
BAJA telah sampai di batavia.
BAJA berjalan perlahan dijalan berdebu di pelabuhan tanjung
priok.
Beberapa orang buruh angkut pelabuhan (piguran) tampak hilir
mudik.
Sesekali jeep patroli tentara belanda melintas dijalan
berdebu.
INSERT. PRAJURIT I yang sedang berdiri didepan sebuah kedai,
tampak terkejut melihat dan mengenali BAJA yang sedang berjalan dijalan.
PRAJURIT I lalu mengikuti BAJA.
CUT TO
182. EXT. RUMAH
YIEN MEI – HALAMAN DEPAN - SIANG
BAJA, YIEN MEI, RAJA, PRAJURIT I
BAJA melangkah perlahan diluar pagar halaman rumah.
YIEN MEI sedang menyiram bunga.
BAJA perlahan mendekat.
BAJA :
(menyapa pelan) “MEI…”
YIEN MEI menoleh dengan mata yang terbelalak.
YIEN MEI :
(berteriak) “BAJA…”
YIEN MEI berlari dan langsung memeluk erat BAJA
YIEN MEI menangis di pelukan BAJA
BAJA memeluk erat tubuh YIEN MEI.
YIEN MEI :
“Ini kamu kan BAJA?”
BAJA :
“Iya”
YIEN MEI :
“Aku tidak mimpi?”
BAJA :
“Tidak”
YIEN MEI :
“Kamu masih hidup?”
BAJA mengangguk
RAJA muncul di depan pintu rumah
RAJA memandang wajah BAJA.
YIEN MEI menoleh ke arah RAJA.
YIEN MEI :
(terisak menangis) “ayah mu datang RAJA”
RAJA
(kikuk/canggung) “hai”
BAJA tersenyum.
Perlahan RAJA mendekat.
BAJA dan RAJA berpelukan.
BAJA :
(lirih) “anakku…”
INSERT. PRAJURIT I mengintai dari balik luar pagar rumah.
PRAJURIT I perlahan menggerakan tangannya ke pinggang.
CU. Tangan PRAJURIT I perlahan meraih pistol yang berada
dipinggangnya.
Perlahan PRAJURIT I membidikan pistol kearah punggung BAJA.
NARATOR :
Selama beberapa tahun belakangan, gema nama BAJA terdengar
santer diseluruh antero nagari minang kabau, ke seluruh prajurit belanda dan
pasukan paderi. seorang lelaki yang secara mistis dipercaya banyak orang
sebagai sosok manusia siluman yang tidak bisa mati, sosok lelaki misterius yang
datang dan menghilang dalam sekejap mata di gelapnya belantara. Bergetar setiap
hati siapa saja yang mendengar nama BAJA, bukan saja karena nama besar itu
telah menguliti tubuh para jejago prajurit perang, tapi karena nama besar BAJA
tersebar luas karena kebenciannya terhadap peperangan, kesucian hati yang
dibakar amarah atas kematian saudaranya.
Tiba tiba perlahan PRAJURIT I menurunkan bidikan pistolnya.
PRAJURIT I kembali memasukan pistol dipinggangnya.
PRAJURIT I meninggalkan halaman depan rumah YIEN MEI dan
menghilang diujung jalan.
BAJA, YIEN MEI, RAJA larut dalam kegembiraan.
By : Rahmat Ramadhan