Pelajaran Budaya Alam Minangkabau
Bundo Kanduang berarti ibu sejati atau ibu kanduang tapi secara makna Bundo Kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau, yang menggambarkan sosok seorang perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari semenjak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat Minangkabau.
Gelar ini diwariskan secara turun-menurun di Minangkabau dan dipilih pada lembaga Bundo Kanduang Sumatera Barat. Istri seorang Datuk kadang-kadang juga disebut sebagai Bundo Kanduang untuk level klan / suku.
Kelebihan yang dimiliki tersebut membuat cadiak pandai menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Kedudukannya sebagai Kepemimpinan tersebut ia dapatkan sama seperti alim ulama. Kedudukan tersebut tidak di wariskan seperti pangulu. Namun, kedudukan tersebut ia dapatkan karena kemampuannya mengembangkan diri dan kemampuan mendapatkan pengetahuan yang luas.
Kemampuan ini membuat masyarakat tertarik kepadanya. Sehinggnya masyarakat menjadikannya pemimpin dalam masyarakat di minangkabau. Ia bersama – sama dengan pemimpin lain, berusaha membangun kaum dan nagarinya ke arah yang lebih baik.
FUNGSI CADIAK PANDAI
Dalam adat sebenarnya telah di jelaskan fungsi seorang cadiak pandai di minangkabau. Fungsi tersebut di tuliskan di dalam kata pusaka minangkabau. Fungsi tersebut berbunyi sebagai berikut:
Cadiak pandai pagaran kokoh,
Pamaga korong dengan kampuang
Pamaga adat jo agamo
Pamaga anak jo kamanakan
Pamaga balai jo musajik
Pamaga sawah jo ladang
Pamaga budi jan nak hilang
Sarato malu nak jan tumbuah
Pertama, “ cadiak pandai pagaran kokoh”. Artinya adalah cadiak pandai merupakan pelindung yang kuat. Hal tersebut dikarenakan ilmu pengetahuan atau kemampuannya yang baik.
Kedua, “ pamaga korong dengan kampuang”. Artinya pangulu menjadi pelindung bagi korong dan kampungnya. Melalui kemampuannya ia berusaha menjaga korong dan kampungnya.
Ketiga, “ pamaga adat jo agamo”. Artinya cadiak pandai dengan kemampuan yang ia miliki menjadi pelindung agama dan adat di minangkabau. Fungsi ini ia laksanakan agar adat dan agama tetap di pakai sebagai ajaran moral dan pedoman hidup masyarakatnya.
Keempat, “ pamaga anak jo kamanakan”. Artinya cadiak pandai juga sebagai pelindung dan penjaga anak dan kemenakannya.
Kelima, “ pamaga balai jo musajik”. Arinya ia menjadi pelindung dari balai dan mesjid di kampungnya.
Keenam, “ pamaga sawah jo ladang”. Artinya menjaga dan melindungi sawah dan ladang.
Ketujuh, “ pamaga budi jan nak hilang”. Artinya ia berusaha untuk melindungi dan menjaga budi baik dari dirinya sendiri ataupun masyarakat, agar tidak hilang. Fungsi ini di laksanakan agar masyarakat tetap mempertahankan dan mengutamakan budi menurut ajaran minangkabau.
Kedelapan, “sarato malu nak jan tumbuah”. Artinya selain berfungsi sebagai penjaga budi, cadiak pandai juga berfungsi sebagai panjaga agar malu tidak berkembang dalam dirinya atau di masyakaratnya.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadangini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Bundo Kanduang
Bundo Kanduang berarti ibu sejati atau ibu kanduang tapi secara makna Bundo Kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau, yang menggambarkan sosok seorang perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari semenjak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat Minangkabau.
Gelar ini diwariskan secara turun-menurun di Minangkabau dan dipilih pada lembaga Bundo Kanduang Sumatera Barat. Istri seorang Datuk kadang-kadang juga disebut sebagai Bundo Kanduang untuk level klan / suku.
Cadiak Pandai
Cadiak pandai (cerdik pandai ) adalah anggota masyarakat biasa. Akan tetapi, ia memiliki kelebihan, dan kelebihan tersebut menjadikannya seorang yang berada dalam masyarakat. Kelebihan tersebut terletak pada ilmu yang ia miliki. Ia sangat pintar dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidangnya. Pengetahuan yang ia miliki tersebut ia gunakan dalam kehidupan pribadinya dan juga kehidupan masyarakatnya.Kelebihan yang dimiliki tersebut membuat cadiak pandai menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Kedudukannya sebagai Kepemimpinan tersebut ia dapatkan sama seperti alim ulama. Kedudukan tersebut tidak di wariskan seperti pangulu. Namun, kedudukan tersebut ia dapatkan karena kemampuannya mengembangkan diri dan kemampuan mendapatkan pengetahuan yang luas.
Kemampuan ini membuat masyarakat tertarik kepadanya. Sehinggnya masyarakat menjadikannya pemimpin dalam masyarakat di minangkabau. Ia bersama – sama dengan pemimpin lain, berusaha membangun kaum dan nagarinya ke arah yang lebih baik.
FUNGSI CADIAK PANDAI
Dalam adat sebenarnya telah di jelaskan fungsi seorang cadiak pandai di minangkabau. Fungsi tersebut di tuliskan di dalam kata pusaka minangkabau. Fungsi tersebut berbunyi sebagai berikut:
Cadiak pandai pagaran kokoh,
Pamaga korong dengan kampuang
Pamaga adat jo agamo
Pamaga anak jo kamanakan
Pamaga balai jo musajik
Pamaga sawah jo ladang
Pamaga budi jan nak hilang
Sarato malu nak jan tumbuah
Pertama, “ cadiak pandai pagaran kokoh”. Artinya adalah cadiak pandai merupakan pelindung yang kuat. Hal tersebut dikarenakan ilmu pengetahuan atau kemampuannya yang baik.
Kedua, “ pamaga korong dengan kampuang”. Artinya pangulu menjadi pelindung bagi korong dan kampungnya. Melalui kemampuannya ia berusaha menjaga korong dan kampungnya.
Ketiga, “ pamaga adat jo agamo”. Artinya cadiak pandai dengan kemampuan yang ia miliki menjadi pelindung agama dan adat di minangkabau. Fungsi ini ia laksanakan agar adat dan agama tetap di pakai sebagai ajaran moral dan pedoman hidup masyarakatnya.
Keempat, “ pamaga anak jo kamanakan”. Artinya cadiak pandai juga sebagai pelindung dan penjaga anak dan kemenakannya.
Kelima, “ pamaga balai jo musajik”. Arinya ia menjadi pelindung dari balai dan mesjid di kampungnya.
Keenam, “ pamaga sawah jo ladang”. Artinya menjaga dan melindungi sawah dan ladang.
Ketujuh, “ pamaga budi jan nak hilang”. Artinya ia berusaha untuk melindungi dan menjaga budi baik dari dirinya sendiri ataupun masyarakat, agar tidak hilang. Fungsi ini di laksanakan agar masyarakat tetap mempertahankan dan mengutamakan budi menurut ajaran minangkabau.
Kedelapan, “sarato malu nak jan tumbuah”. Artinya selain berfungsi sebagai penjaga budi, cadiak pandai juga berfungsi sebagai panjaga agar malu tidak berkembang dalam dirinya atau di masyakaratnya.
Ninik Mamak
Ninik Mamak adalah suatu lembaga adat yang terdiri dari beberapa orang penghulu yang berasal dari berbagai kaum atau klan yang ada dalam suku-suku di Minangkabau. Lembaga ini diisi oleh pemimpin-pemimpin dari beberapa keluarga besar atau kaum atau klan yang disebut penghulu, di mana kepemimpinannya diwariskan secara turun temurun sesuai adat matrilineal Minangkabau. Jabatan penghulu dipangku oleh seorang laki-laki Minangkabau yang dituakan dan dipandang mampu memimpin dengan bijaksana.
Rumah Gadang
Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.[1].Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadangini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Detailnya Baca DISINI
Penjelasan / Informasi Lebih Rinci (Detil) :
Istilah / Ungkapan : Alim Ulama
Arti Ungkapan : Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Arti Ungkapan Lain :
Kesimpulan 1 : Pengertian Alim Ulama adalah Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Kesimpulan 2 : Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam disebut juga sebagai Alim Ulama
Kesimpulan 3 : Ungkapan Alim Ulama artinya adalah Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Sebagaimana juga halnya dengan cabang-cabang seni (seni rupa) yang lain, seni ukir Minangkabau berorientasi kepada alam. Seluruh motif ukiran yang diciptakan dikembalikan kepada sifat-sifat gejala dan bentuk alam. Kalau pada masa lampau pernah dikenal istilah "natura astist magistra", maka di Minangkabau dikenal juga pepatah yang mengatakan "alam takambang jadi guru, cancang taserak jadi ukia". Kata-kata tersebut mempunyai pengertian bahwa alam yang luas dapat dijadikan guru atau contoh/teladan dan setiap cercahan pahatan akan menjadi elemen ukiran yang bersifat menghias.
Bentuk-bentuk alam yang dijadikan motif ragam hias, tidak diungkapkan secara realistis atau naturalistis, tetapi bentuk-bentuk alam tersebut digayakan (distilisasi) menjadi motif-motif dekoratif ornamentik.
Ditinjau nama-nama motif ragam hias yang terdapat di Minangkabau, dapat dilihat bahwa motif-motif tersebut bertitik tolak dari nama-nama benda yang terdapat di alam yang dapat dibagi ke alam tiga kelompok utama, yaitu: (1). Motif yang berasal dari nama/sifat tetumbuhan; (2). berasal dari nama-nama binatang; (3). berasal dari nama-nama benda (benda mati).
Nama-nama Motif Ragam Hias Minangkabau
Nama tetumbuhan
Sesuai dengan bentuk dasarnya, motif-motif ragam hias Minangkabau yang berasal dari nama-nama tumbuhan mencapai jumlah 37 nama/motif. Bentuk ragam hias yang berasal dari nama tetumbuhan ini pun sebetulnya tidak selamanya dapat disesuaikan dengan bentuk visual motifnya. Tidak selamanya motif itu mencerminkan bentuk yang sesuai dengan namanya.
Beberapa nama yang cukup menonjol dari sekian banyak motif ragam hias yang berasal dari nama tetumbuhan adalah: Aka Bapilin (Akar Berjalin), Aka Barayun (Akar Berayun), Aka Taranang (Akar Terapung), Bungo Palo (Bunga Pala), Bungo Matoari (Bunga Matahari), Kaluak Paku (Lengkung Pakis), Pucuak Rabuang (Pucuk Rebung) dan lain-lain.
Nama binatang
Nama-nama motif yang berasal dari nama binatang mencapai jumlah 21 motif, diambil dari nama-nama binatang yang terdapat di lingkungan daerah Minangkabau itu sendiri. Sebagaimana juga dengan nama-nama motif yang berasal dari nama tetumbuhan, pada motif yang berasal dari nama-nama hewan ini juga tak terlihat bentuk-bentuk binatang itu sendiri. Motifnya pun mirip dengan motif-motif yang berasal dari nama tetumbuhan. Motif-motif yang berasal dari nama hewan ini antara lain adalah: Ayam Mancotok dalam Kandang (Ayam mematuk di dalam kandang), Bada Mudiak (Ikan beriringan ke hulu), Barabah Mandi (Burung Berbali Mandi), Gajah Badorong (Gajah Berkelahi), Harimau dalam Parangkok (Harimau dalam Perangkap), Kaluang Bagayuik (Kelelawar Bergantung), Ramo-ramo (Kupu-kupu), Tupai Managun (Tupai Berbunyi), Kudo Manyipak (Kuda Menendang) dan lain-lain.
Nama benda dan Manusia
Nama-nama motif yang berasal dari nama benda (benda mati) antara lain adalah: Aie bapesong (air berputar) Ampiang Faserak (Emping Terserak), Ati-ati (bentuknya menyerupai hati), Carano Kanso (Cerana Tembaga), Jarek Takambung (Jerat Terpasang), Kipeh Cino (Kipas Cina), Saik Kalamai (Irisan Makanan) dan Saluak Laka (Alas Periuk). Jumlah motif ini mencapai 31 buah, diantaranya terdapat juga nama manusia seperti Ambun Dewi, Si Ganjua Lalai (nama gadis), si Kambang Maniih (Nama Gadis).
Arti yang Terkandung pada Motif Ragam Hias Minangkabau
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ragam hias Minangkabau mengambil motif dari bentuk, gejala dan sifat-sifat alam. Sifat meniru alam ini tidak saja berlaku bagi pengambilan motif-motif seni ukir, tetapi juga berlaku pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sifat-sifat dan tingkah laku alam tersebut dituangkan pada kata-kata adat yang diajarkan turun temurun sebagai pengetahuan yang berguna bagi pengaturan kehidupan dan perilaku masyarakat. Salah satu pantun itu berbunyi sebagai berikut:
Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang Lintabung
Salodang ambiak ka nyiru.
Nan Satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru
Penakik pisau siraut
Ambil galah batang Lintabung
Selodang jadikan nyiru,
Yang setetes jadikan laut,
Yang sekepal jadikan gunung,
Alam terkembang jadikan guru.
Pepatah tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar selalu berusaha untuk menyelidiki menghayati dan mempelajari ketentuan-ketentuan dan kejadian-kejadian alam semesta sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan guru atau dapat diteladani.
Alim Ulama
Alim Ulama adalah sebuah ungkapan yang artinya Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam. Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam diistilahkan sebagai Alim Ulama. Jadi arti Alim Ulama adalah Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam. Kata Istilah Alim Ulama merupakan ungkapan resmi dalam Bahasa Indonesia.Penjelasan / Informasi Lebih Rinci (Detil) :
Istilah / Ungkapan : Alim Ulama
Arti Ungkapan : Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Arti Ungkapan Lain :
Kesimpulan 1 : Pengertian Alim Ulama adalah Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Kesimpulan 2 : Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam disebut juga sebagai Alim Ulama
Kesimpulan 3 : Ungkapan Alim Ulama artinya adalah Orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam
Motif Ukiran Minagkabau
Bentuk-bentuk alam yang dijadikan motif ragam hias, tidak diungkapkan secara realistis atau naturalistis, tetapi bentuk-bentuk alam tersebut digayakan (distilisasi) menjadi motif-motif dekoratif ornamentik.
Ditinjau nama-nama motif ragam hias yang terdapat di Minangkabau, dapat dilihat bahwa motif-motif tersebut bertitik tolak dari nama-nama benda yang terdapat di alam yang dapat dibagi ke alam tiga kelompok utama, yaitu: (1). Motif yang berasal dari nama/sifat tetumbuhan; (2). berasal dari nama-nama binatang; (3). berasal dari nama-nama benda (benda mati).
Nama-nama Motif Ragam Hias Minangkabau
Nama tetumbuhan
Sesuai dengan bentuk dasarnya, motif-motif ragam hias Minangkabau yang berasal dari nama-nama tumbuhan mencapai jumlah 37 nama/motif. Bentuk ragam hias yang berasal dari nama tetumbuhan ini pun sebetulnya tidak selamanya dapat disesuaikan dengan bentuk visual motifnya. Tidak selamanya motif itu mencerminkan bentuk yang sesuai dengan namanya.
Beberapa nama yang cukup menonjol dari sekian banyak motif ragam hias yang berasal dari nama tetumbuhan adalah: Aka Bapilin (Akar Berjalin), Aka Barayun (Akar Berayun), Aka Taranang (Akar Terapung), Bungo Palo (Bunga Pala), Bungo Matoari (Bunga Matahari), Kaluak Paku (Lengkung Pakis), Pucuak Rabuang (Pucuk Rebung) dan lain-lain.
Nama binatang
Nama-nama motif yang berasal dari nama binatang mencapai jumlah 21 motif, diambil dari nama-nama binatang yang terdapat di lingkungan daerah Minangkabau itu sendiri. Sebagaimana juga dengan nama-nama motif yang berasal dari nama tetumbuhan, pada motif yang berasal dari nama-nama hewan ini juga tak terlihat bentuk-bentuk binatang itu sendiri. Motifnya pun mirip dengan motif-motif yang berasal dari nama tetumbuhan. Motif-motif yang berasal dari nama hewan ini antara lain adalah: Ayam Mancotok dalam Kandang (Ayam mematuk di dalam kandang), Bada Mudiak (Ikan beriringan ke hulu), Barabah Mandi (Burung Berbali Mandi), Gajah Badorong (Gajah Berkelahi), Harimau dalam Parangkok (Harimau dalam Perangkap), Kaluang Bagayuik (Kelelawar Bergantung), Ramo-ramo (Kupu-kupu), Tupai Managun (Tupai Berbunyi), Kudo Manyipak (Kuda Menendang) dan lain-lain.
Nama benda dan Manusia
Nama-nama motif yang berasal dari nama benda (benda mati) antara lain adalah: Aie bapesong (air berputar) Ampiang Faserak (Emping Terserak), Ati-ati (bentuknya menyerupai hati), Carano Kanso (Cerana Tembaga), Jarek Takambung (Jerat Terpasang), Kipeh Cino (Kipas Cina), Saik Kalamai (Irisan Makanan) dan Saluak Laka (Alas Periuk). Jumlah motif ini mencapai 31 buah, diantaranya terdapat juga nama manusia seperti Ambun Dewi, Si Ganjua Lalai (nama gadis), si Kambang Maniih (Nama Gadis).
Arti yang Terkandung pada Motif Ragam Hias Minangkabau
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ragam hias Minangkabau mengambil motif dari bentuk, gejala dan sifat-sifat alam. Sifat meniru alam ini tidak saja berlaku bagi pengambilan motif-motif seni ukir, tetapi juga berlaku pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sifat-sifat dan tingkah laku alam tersebut dituangkan pada kata-kata adat yang diajarkan turun temurun sebagai pengetahuan yang berguna bagi pengaturan kehidupan dan perilaku masyarakat. Salah satu pantun itu berbunyi sebagai berikut:
Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang Lintabung
Salodang ambiak ka nyiru.
Nan Satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru
Penakik pisau siraut
Ambil galah batang Lintabung
Selodang jadikan nyiru,
Yang setetes jadikan laut,
Yang sekepal jadikan gunung,
Alam terkembang jadikan guru.
Pepatah tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar selalu berusaha untuk menyelidiki menghayati dan mempelajari ketentuan-ketentuan dan kejadian-kejadian alam semesta sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan guru atau dapat diteladani.